My Journal

Memvalidasi Fun Dalam Pengembangan Game

Saya baru saja membaca sebuah buku yang cukup menarik terkait industri game di dunia yakni buku berjudul “Blood, Sweat, and Pixels.” Buku tersebut berisikan kumpulan cerita perjuangan dan kegagalan dibalik judul game yang saat ini sukses di pasaran seperti Stardew Valley, Dragon Age, Destiny, Uncharted, dan masih banyak lainnya. Satu hal yang saya temukan memiliki pola yang sama dari tiap kisah yakni membuat game yang menyenangkan atau fun tidaklah mudah. Butuh banyak proses prototyping dan testing hingga akhirnya bisa meramu sebuah game yang fun. Demi bisa mencapai titik fun yang optimal ini, tidak banyak game developer yang pada akhirnya harus men-delay tanggal release mereka. Bahkan ada juga kasus-kasus dimana project sudah berjalan cukup lama, sudah tahunan, tapi pada akhirnya tetap tidak bisa mendeliver fun sehingga projectnya harus dihentikan.

Dalam dunia startup, ada metode validasi yang cukup populer seperti konsep Lean Startup atau Design Sprint. Pada umumnya siklus dalam membuat produk adalah berawal dari ide, lalu kita build, kemudian kita launch, dan kita learn untuk nanti diimprove lagi. Kedua metode di atas memiliki pendekatan untuk agar siklus tersebut bisa dipercepat. Dalam Lean Startup, produk yang di build harus seminimal mungkin, istilahnya minimum viable product. Dalam konsep Design Sprint mungkin lebih ekstrim lagi, dari proses ide, langsung di learn tanpa melalui proses build dan launch. Artinya mereka belajar dari prototype idenya. Jika dalam Lean Startup harus sudah ada MVP dalam waktu kurang dari 2-3 bulan, Design Sprint proses validasi ide dilakukan dalam waktu lima hari. Mengapa proses ini dilakukan dengan cepat? Harapannya agar kita tidak terlalu lama menghabiskan waktu mengembangkan sebuah fitur atau produk yang tidak dibutuhkan oleh user. Lalu apakah ini bisa dilakukan juga di dalam pembuatan game untuk memvalidasi fun dalam pengembangan game?

baca juga : Mengenal Live Ops Dalam Industri Game Dan Konsep Game As a Service (GaaS)

Jawabannya adalah ya dan tidak. Mindset berpikir untuk melakukan testing ide kepada user dengan cepat agar tidak menghabiskan resource dan waktu sangat baik jika diimplementasikan ke dalam pengembangan game. Cuma memang pengembangan game memilki sebuah tantangan tersendiri yang mungkin agak sedikit berbeda dengan pengembangan aplikasi. Mengembangkan game itu kombinasi antara art dan science. Lalu komponen yang terlibat dalam pengembangan sebuah game sangatlah banyak, ada dari sisi teknologi, visual, animasi, cerita, mekanik game, audio, dan banyak lainnya. Jika kita berbicara game dengan skala besar seperti game triple A, membangun prototype yang bisa diujikan ke user tidak bisa dilakukan dalam skala hitungan hari. Untuk melakukan validasi sebuah game, biasanya minimum viable productnya disebut dengan core loop atau core mechanic. Satu loop itu biasanya digunakan untuk mengenalkan konsep cerita atau dunia dari gamenya, mengenalkan gameplay, lalu memberikan experience singkat kepada player dalam satu siklus dari gamenya. Misal kita ambil contoh game dengan genre fighting, maka untuk melakukan pengujian kita perlu membuat model dari karakter game-nya (mungkin tidak diberikan tekstur yang detil), membuat design world dan tema dari game fighting kita (misal kita mengambil tema pertarungan antar robot sehinggga model karakter dan environmentnya bertema robot), lalu kita perlu mendesain mekanik pertarungan yang kita inginkan (misal cara melakukan kombo, power up, dll), kemudian kita perlu sound effect dan background music yang bertema robotik, dan seterusnya Mungkin prototype sendiri butuh waktu 2-3 bulan agar bisa diujikan kepada user. Untuk membangun prototype itu pun tidak bisa dikerjakan oleh 3-7 orang saja karena di dalamnya pasti banyak divisi yang terlibat. Karena berbeda dengan produk digital startup, untuk user bisa menikmati game, perlu ada standar polishing minimum yang harus dikejar untuk bisa mendeliver fun dan memvalidasi keunikan ide game kita.

Tantangan lainnya adalah melakukan management resource untuk bisa memanage waktu pengembangan tiap divisi dengan sinkron karena banyak divisi yang bergantung satu dengan lainnya. Contohnya, dalam proses pengembangan prototype, programmer tidak bisa banyak berbuat sesuatu jika belum ada aset visual yang bisa dimasukan. Texture artist tidak bisa bekerja sebelum model 3D nya jadi. Lalu semua item di dalam game belum bisa dieksekusi jika game design nya belum rampung. Berbeda dengan produk digital aplikasi yang hanya melibatkan designer dan programmer, dalam produksi game ada banyak sekali elemen yang terlibat yang harus bisa sinkron dalam waktu cepat. Ini juga yang menjadi tantangan untuk bisa membuat minimum viable product yang bisa diujikan secara cepat.

baca juga : Contoh Penggunaan App Store Optimization Pada Google Play

Lalu bagaimana caranya kita bisa menguji unsur fun dalam game kita dalam waktu singkat? Ada satu contoh yang menurut saya cukup menarik untuk dijadikan bahan pembelajaran. Ada sebuah studio game kecil di finlandia bernama Supercell. Makna dari nama studio mereka adalah studio ini terdiri dari tim-tim kecil yang akan mendevelop dan memvalidasi game mereka secara cepat. Dalam waktu dua bulan, bisa ada puluhan game yang mereka develop dan puluhan game yang mereka “matikan” karena hasilnya tidak sesuai yang mereka harapkan. Dari sekian banyak ide game yang mati, ada segelintir ide game yang sukses di pasar dan game itulah yang mereka fokuskan. Beberapa judul game yang akhirnya mereka rilis adalah Clash of Clans, Hay Day, Clash Royals, dll. Mereka melakukan validasi fun dan dari core loop mereka secara cepat dan ketika gagal langsung beralih ke ide yang lain hingga akhirnya menemukan game yang memiliki unsur fun yang optimal.

Bagaimana Supercell bisa melakukan ini? Yang pertama adalah skala game mereka cukup kecil jika dibandingkan dengan game triple A untuk console atau PC. Yang kedua dan yang terpenting, Supercell adalah kumpulan veteran yang sudah punya pengalaman puluhan tahun di industri game. Bisa dibilang, muscle memory tiap anggota timnya sudah sangat kuat sehingga bisa mendeliver sebuah prototype yang polish untuk bisa diujikan secara singkat. Kombinasi antara skill dan experience inilah yang membuat mereka bisa terus berexperimen mencari konsep game dan menemukan fun di dalam gamenya sehingga bisa sukses.

baca juga : 7 Tips Startup Dari Workshop Google Launchpad

Untuk kita yang belum punya tim dengan puluhan tahun experience di industri game, bagaimana cara kita melakukan validasi fun di dalam game? Jika ingin mengejar speed, cara paling mudah adalah menggunakan asset yang sudah ada. Seperti jika kita ingin menguji mekanik gameplay tertentu, kita bia me-reuse aset yang sudah ada atau membeli aset yang kira-kira relevan. Contoh jika kita ingin melakukan validasi dari sebuah game FPS, kita bisa menggunakan baseline dari project yang dijual di asset store lalu melakukan modifikasi untuk menguji mekanik baru yang ingin kita coba. Atau jika core loop yang ingin kita coba benar-benar unik sehingga tidak dapat ditemukan template-nya, kita bisa breakdown core loop tersebut jadi mekanik kecil dimana yang kita ujikan satu mekanik kecil yang kita jadikan loop.

Saya ambil contoh game terbaru Arsanesia berjudul Summer Town. Game tersebut merupakan game simulasi dimana kita bisa merawat karakter virtual, melakukan dress up, mendekorasi rumah, memancing, dan mengikuti quest-quest menarik. Untuk melakukan validasi, kita membuat versi game yang memang fokus di satu mekanik dahulu. Contohnya ketika kita ingin memvalidasi gameplay memancing, kita fokuskan melakukan iterasi di bagian memancing sampai benar-benar enak. Lalu ketika kita ingin memvalidasi fitur dekorasi, kita melakukan pengujian khusus untuk menu dekorasi sampai menghasilkan game dekor yang fun.

Apa keuntungannya melakukan testing di mekanik kecil? Salah satu lesson learned kita adalah jika kita langsung membuat satu core loop besar untuk ditest, bagian yang akan terus berubah-ubah tiap kali ada perubahan mekanik adalah on boarding alias tutorial. Ketika testing, kita berharap user bisa melakukan aksi di dalam game tanpa perlu dituntun oleh penguji. Untuk itu kita perlu merancang tutorial agar bisa mengajarkan user dari tahap awal membuka aplikasi hingga menjelaskan tiap gameplay. Jika ada satu area gameplay yang diubah, maka tutorial juga harus diubah (entah copywrite nya atau flow tutorialnya). Jadi dengan fokus di satu area, kita bisa membuat tutorial jadi lebih singkat dan fokus di mekanik tersebut saja.

baca juga : [GoogleForMobile2016] Belajar Membuat Perusahaan Game Dari Halfbrick, Pencipta Game Fruit Ninja dan Jetpack Joyride

Namun begitu, menguji mekanik-mekanik kecil juga tidak menjamin bahwa ketika digabungkan, experience loop game-nya akan menjadi bagus. Pada akhirnya, kita juga akan melakukan adjusting dan balancing dari tiap mekanik di dalam game untuk menghadirkan game yang fun. Tapi dengan cara ini, mungkin akan lebih efisien karena proses validasi fun sudah dilakukan dari bagian terkecil game ini terlebih dahulu. Bagi kita yang belum punya experience puluhan tahun, mengembangkan dan menguji mekanik game dalam skala kecil juga dapat memberikan kita pembalajaran yang sangat berarti.

Jadi kesimpulannya adalah merancang fun di dalam game membutuhkan proses validasi dengan membuat prototype dan melakukan testing. Karena skala project dari game cenderung besar, proses validasi ini bisa dibilang cukup menantang, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Cara paling mudah untuk belajar memvalidasi fun dalam game adalah dengan memecah scope game kita menjadi lebih kecil agar bisa lebih cepat dibuat prototype nya dan diujikan. Jangan sampai kita terus-menerus mendevelop game kita sampai berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, tapi tidak ada fase dimana game kita diujicobakan ke calon user kita. Karena ketika kita membuat game, kita mengembangkan sebuah produk untuk player, bukan sang developernya saja. Player lah yang nantinya akan membeli dan memainkan game kita.

About Adam Ardisasmita (1373 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

Tinggalkan komentar