My Journal

[GoogleForMobile2016] Belajar Membuat Perusahaan Game Dari Halfbrick, Pencipta Game Fruit Ninja dan Jetpack Joyride

Salah satu alasan utama saya datang ke acara Google For Mobile 2016 adalah untuk mendengarkan sesi sharing dari Halfbrick. Dulu game Fruit Ninja mereka sempat populer. Tapi bukan game itu yang membuat saya kagum dengan Halfbrick, melainkan Jetpack Joyride. Jetpack Joyride merupakan game yang menurut saya luar biasa. Untuk genre casual, game ini bisa sangat adiktif. Dengan skala game yang bisa dibilang cukup kecil, game ini sangat detil dan polish. Itu mengapa saya tidak ingin melewatkan kesempatan langka untuk mendengar sharing dari pembuat Jetpack Joyride ini. Saya akan coba share di blog ini rangkuman poin menarik dari hasil presentasi Shainiel Deo, CEO Halfbrick.

baca juga : [GoogleForMobile2016] Tips Sukses Di Google Play

Awal saya mengenal Halfbrick melalui Fruit Ninja di iOS, saya berpikir ini adalah studio game yang hoki. Kenapa hoki? Karena dia pas banget bikin game untuk mobile yang memanfaatkan touchscreen (yang kala itu masih hal baru) di saat belum banyak saingan. Wajar aja game-nya laku. Tapi ternyata kesuksesannya Halfbrick bukanlah hal yang instant. Mereka bukan game developer yang baru dibuat dengan produk pertamanya adalah Fruit Ninja.

Judul game yang dikerjakan oleh Halfbrick

Judul game yang dikerjakan oleh Halfbrick

Halfbrick sudah ada semenjak tahun 2001 dan awalnya tidak membuat game untuk mereka sendiri. Di tahun-tahun awal, mereka hanya menjadi kontraktor dan mengerjakan game permintaan client. Halfbrick dimulai dengan menjadi service company yang menyediakan jasa membuat game. Mereka mengerjakan game untuk Nintendo DS dengan judul-judul yang cukup terkenal seperti Avatar Legend of Aang, Star Wars, dan lain sebagainya.

Fase bisnis Halfbrick

Fase bisnis Halfbrick

Periode menjadi perusahaan kontraktor ini dimanfaatkan sungguh-sungguh dan sepenuh hati untuk belajar dan menggali pengalaman. Game-game yang mereka buat selalu mendapat feedback yang positif. Lalu tahap selanjutnya mereka mencoba membuat game untuk publisher. Dalam jangka waktu ini, seluruh penghasilan perusahaan masih dari B2B, namun mulai mendalami esensi membangun produk. Dirasa mulai mampu menghasilkan game berkualitas, Halfbrick perlahan-lahan mencoba mengembangkan IP mereka sendiri. Beberapa judul awal game mereka di 2008-2009 belum mendapatkan hasil yang memuaskan, tapi mereka terus belajar dan mencoba meningkatkannya lagi. Perlahan-lahan, produknya semakin baik sehingga porsi kerjaan client bisa semakin dikurangi hingga pada titik dimana pendapatan dari IP bisa lebih besar dari B2B.

Bertahap membangun IP. Garis merah kontraktor dan garis biru IP

Bertahap membangun IP. Garis merah kontraktor dan garis biru IP

Ini merupakan satu pelajaran yang berharga dimana tidak ada yang salah dengan menjadi kontraktor, setidaknya di fase awal. Saat ini banyak sekali developer game yang baru berdiri sudah mau membuat game skala besar. Maunya sekali buat game, langsung sukses dan mendapat untung dari game tersebut. Iterasi itu penting untuk pembelajaran. Dengan mengerjakan produk client, kita bisa belajar dengan banyak iterasi sambil dibayar. Pastikan kita sudah mencapai level yang cukup baik dalam membuat game sebelum akhirnya mencoba membuat game sendiri. Banyak sekali studio game di Indonesia yang tutup karena kehabisan “nafas” untuk melakukan iterasi agar gamenya mencapai standar yang cukup untuk bersaing.

CEO Halfbrick Google For mobile -1

Kualitas adalah kunci

Kualitas adalah kunci. Untuk bisa membuat game berkualitas, butuh pembelajaran yang banyak. Apalagi melihat talent dan ekosistem di Indonesia di industri game yang masih sangat muda, tentu bukanlah hal yang mudah untuk bisa membuat produk yang bisa bersaing skala global. Jadi gunakanlah berbagai kesempatan yang ada untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas gamenya. At least sampai kita bisa membuat game dengan taraf kualitas dan sepolish Jetpack Joyride dulu deh. Untuk mencapai titik itu, butuh persistensi, butuh modal, butuh talent, butuh mentor, dan yang paling penting, butuh waktu. Oh, kalau mau coba ambil contoh Supercell yang game pertamanya, Clash of Clan, langsung sukses di pasaran, itu berarti tidak melihat proses di belakangnya. Supercell isinya adalah veteran game dev. Dan Clash of Clans bukanlah judul pertama. Mereka membuat banyak sekali prototype, pengujian, dan iterasi sebelum akhirnya mengangkat game ini. Jadi kuncinya, semua butuh proses dan tidak ada yang instan.

About Adam Ardisasmita (1309 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

1 Trackback / Pingback

  1. Memvalidasi Fun Dalam Pengembangan Game – Ardisaz

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: