My Journal

Agar Anak Tidak Kecanduan Game #BelajarPakaiGame

Gaming Disorder merupakan tambahan baru dalam International Classification of Diseases (ICD) di tahun 2018 lalu. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran bagi para orang tua untuk mengenalkan anak terhadap game. Takut anaknya jadi kecanduan game. Nah di tulisan kali ini, aku ingin coba mengupas tentang kecanduan game pada anak. Mulai dari bagaimana mencegahnya hingga apa yang harus dilakukan ketika anak sudah kecanduan game. Oh ya, lebih detilnya tentang obrolan ini, bisa dicek di IGTV nya Arsa Kids yah 🙂

Main Game Tapi Tetap Berprestasi

Kekhawatiran orang tua jaman sekarang adalah kalau anak main game terus, nanti bisa jadi tidak berprestasi. Ini yang bikin aku jadi sedikit bingung. Karena aku mengalami hal yang sedikit berbeda dengan yang ditakutkan banyak orang tua. Tapi aku paham sih ketakutan itu, aku sendiri pun memiliki ketakutan yang sama ketika mulai memperkenalkan game ke anak ku. Itu yang bikin aku jadi penasaran, apa yang membuat aku dulu bisa jadi pecinta game tapi tetap berprestasi yah?

Aku lupa dari umur berapa aku main game. Cuma dari foto yang aku temukan di rumah, ada foto aku main game di komputer ketika umur 2 tahun kayaknya. Dan ada rekaman videonya juga di situ aku cuma bisa “mukul2” keyboard :p Tapi memori ku dari kecil hingga dewasa, aku selalu ingat bahwa aku tidak pernah lepas dari game.

Waktu aku TK, itu pertama kali aku punya console. Waktu itu Bapak belikan aku Sega. Game yang paling aku inget adalah Sonic dan Doraemon. Tiap pulang sekolah, pasti menyempatkan untuk main game. Dulu sekolah ku dari SD full day yah, jadi momen pulang sekolah main game itu yang paling ditunggu-tunggu. Karena jaman ku dulu yang punya console belum begitu banyak, jadi temen-temen komplek juga sering main bareng di rumah. Lalu masuk era Play Station yang game-nya jauh lebih beragam dan lebih murah karena jaman dulu adanya game bajakan doang. Klo sega kan kaset yang susah bajaknya. Klo PS entah kenapa malah aku gak pernah nemu yg originalnya yah. Game yang aku mini di PS pun sangat beragam mulai dari game RPG, game action, sampai game fighting pun ada.

Oh ya, selain console, di rumah ku juga ada PC. Salah satu game PC yang paling aku inget adalah lode runner dari Sierra. Terus sempet juga main Pokemon Blue pakai disket di PC hahaha DISKET! Cuma yang menarik dari PC adalah gamenya sangat beragam, sampai ke game edukasi pun ada. Aku dulu paling suka dibeliin Magic School Bus. Terus inget juga ada game untuk movie making simulation gitu yang kita bisa bikin cerita sendiri. Momen yang paling ku inget adalah kita sering banget ke Glodok buat beli game, mau itu game PS maupun game PC.

Ada 3 tahun yang itu jadi gap dimana aku hampir jarang banget main game yakni pas SMA. Kebetulan SMA ku boarding jadi gak bisa main game lagi pulang sekolah. Tapi tiap pas lagi liburan tentu main game dong 🙂 Cuman emang intensitasnya gak sesering dulu lagi. Oh ya, dan di era itu klo gak salah lagi jaman-jamannya PS3 yang mana entah kenapa di rumah gak ada yang tertarik. Kalau main game di rumah adik-adik main di komputer atau gak game boy.

Pas kuliah, mulai lagi tuh main game. Di era kuliah game mobile udah lumayan banyak yah kayak Angry Bird, Temple Run, Fruit Ninja, dll. Tapi yang paling cukup banyak menyita waktu di jaman kuliah terutama tingkat-tingkat akhir adalah game MMORPG World of Warcraft. Ini game untuk main bareng pakai internet. Jadi untuk main ini, kita suka janjian satu kelompok untuk main jam berapa dan di kosan siapa. Itu klo lagi main bisa sampai pagi hahahaha

Melihat seberapa seringnya aku main game di kehidupan ku semenjak kecil, harusnya klo menurut kekhawatiran orang tua jaman sekarang, aku tumbuh jadi orang yang kecanduan game dan gak akan berprestasi dong. Tapi yang terjadi, kontrol diri untuk waktu bermain dan waktu belajar tetap terjaga. Kalo jam sekolah, main game hanya sampai magrib. Kalau liburan sih gak ada batasan. Terus sedari kecil, dengan pola seperti itu, masih bisa juga tetep berprestasi. selama tiga tahun berturut-turut di SMP aku selalu rangking satu. Lalu bisa masuk SMA yang sangat kompetitif persaingannya. Kuliahnya bisa masuk jurusan dengan tingkat kesulitan nomer satu di ITB. Dan lulus kuliah pun tepat waktu dengan status cum laude.

Nah, kira-kira apa yang terjadi di dalam proses aku tumbuh bersama game sehingga tidak mengganggu kesuksesan di masa depan?

Cerita Tikus Dalam Kandang

Sebelum ngebahas tentang gimana biar gak kecanduan, aku mau cerita sebuah video TED dari Johann Hari yang menurut ku menarik nih untuk ngasih kita sedikit ilustrasi tentang konsep adiksi. Risetnya seperti ini. Dulu banget ada riset tentang adiksi menggunakan tikus. Jadi ada seekor tikus yang dimasukan ke dalam sebuah kandang. Di kandang itu ada dua buah botol minum yang satu berisi air mineral dan yang satu berisi air mineral yang dicampur dengan heroin. Yang terjadi adalah tikus tersebut terus-terusan minum air yg ada heroinnya dan mati karena over dosis.

Nah di video TED ini, Johann Hari mengambil analogi kalau orang adiksi karena zatnya, harusnya pasien-pasien rumah sakit yang dikasih morfin keluar dari rumah sakit jadi drug addict dong. Terus Johann Hari nemu riset lanjutan dari eksperimen tikus tersebut. Riset lanjutannya dilakukan oleh soerang profesor psikologi dari Vancouver yang bernama Bruce Alexander. Aku pribadi belum coba crosscheck risetnya Bruce Alexander sih, tapi kurang lebih begini risetnya.

Prof Bruce mikir, ya pantesan aja si Tikus itu minum air yang ada heroinnya. Orang dia tinggal sendirian di kandang sempit yang gak ada apa-apanya. Pasti jadi depresi dong si tikus. Jadilah si Prof Bruce ini bikin eksperimen yang dikasih judul Rat Park. Di Rat Park itu kandang tikusnya gede banget, banyak keju, banyak bola-bola, ada terowongannya, dan ada teman-teman tikus lainnya. Dan sama seperti penelitian yang sebelumnya, diletakanlah dua botol minum. Di dalam environment yang lebih cerah ini, hasilnya mengejutkan. Botol minum yang ada heroinnya gak disentuh sama sekali dan gak ada tikus yang overdosis.

Dari sini, Johann Hari mengambil kesimpulan kalau jangan-jangan, adiksi itu bukan tentang chemical hooks, tapi tentang cage. Tentang situasi dan kondisi kandang dalam kehidupan seseorang yang menjadikan dia adiksi terhadap sesuatu.

Apa Penyebab Adiksi?

Habis mengigat masa lalu aku yang gamers sejati dan menonton video TED barusan, aku jadi mulai terbayang kenapa aku tidak kecanduang game. Selama masa kecil itu, aku memiliki “kandang” yang sangat menyenangkan. Tanpa game, kehidupan sehari-hari ku bahagia, aku memiliki bonding yang kuat dengan keluarga, memiliki teman-teman yang baik, dan memiliki aktivitas lain yang membuat ku bahagia. Tapi bagaimana cara memastikan bahwa kita bisa memiliki “kandang” yang sehat? Apa saja elemen dari adiksi yang perlu kita pahami? Untuk menjawab itu, saya coba diskusi dengan expert psikologi favorit saya yang juga merupakan researcher di Arsa Kids, dengan Putri. Tentu obrolan lengkapnya ada di IG live Arsa Kids di atas yah kalau mau denger langsung dari mulut Putri.

Untuk seseorang bisa divonis sebagai “gaming disorder”, hanya profesional saja yang berhak. Kita sebagai orang awam hanya mampu memahami gejala-gejalanya saja. Jika bermain game sudah membuat kehidupan seseorang sudah tidak beraktivitas normal, itu sudah perlu kita perhatikan lebih intensif. Menurut WHO, ada lima elemen yang menjadi faktor penyebab seseorang bisa mengamali kecanduan

  1. Genetik
  2. Pengaruh Orang Tua
  3. Environment Rumah
  4. Influence Sosial
  5. Kondisi Psikologis

Genetik. Banyak mungkin yang tidak menyangka klo kecenderungan untuk seseorang bisa adiksi turut ditentukan oleh faktor genetis. Ternyata ada elemen di dalam gen kita yang bisa membuat seseorang lebih mudah untuk menjadi pecandu. Tapi tentu elemen ini tidak bisa berdiri sendiri. Anak seorang pencandu belum tentu akan diturunkan genetiknya dari orang tuanya. Atau pun jika diturunkan, belum tentu akan jadi pecandu apabila elemen lainnya tidak mendorong seseorang untuk jadi pecandu.

Pengaruh Orang Tua. Elemen lain yang sangat berpengaruh adalah elemen orang tua. Bagaimana orang tua menjaga attachment kepada anaknya, bagaimana orang tua memberikan aturan kepada anaknya, hingga bagaimana orang tua mengajarkan disiplin kepada anaknya. Rasa aman dan nyaman yang diberikan oleh orang tua, yakni unconditional live, merupakan modal penting untuk mencegah seseorang jadi kecanduan. Game, Narkoba, Judi, dan lain-lain adalah hal yang memberikan kita kebahagiaan apabila kita melakukan sesuatu entah memenangkan permainan, menikmati zat adiktif, atau mendapatkan hadiah dari judi. Tapi orang tua adalah sumber kebahagiaan yang tanpa kita perlu melakukan apapun akan terus membanjiri kita dengan rasa senang.

Environment Rumah. Ketika anak tumbuh besar di dalam lingkungan keluarga, rumah menjadi elemen yang sangat penting. Apakah ada aktivitas yang bisa dilakukan di rumah yang menyenangkan bagi anak? Apakah ada waktu untuk anak bermain di rumah dan merasa nyaman di rumah. Untuk itu penting sekali bagi orang tua untuk menyediakan berbagai fasilitas atau kegiatan untuk anak merasa nyaman. Atau bagi orang tua, harus ada kegiatan di rumah yang membuat bahagia. Mungkin ada yang hobi bercocok tanam, ada yang hobi melukis, ada yang hobi DIY, dan masih banyak lainnya.

Influence Sosial. Ini biasanya ketika anak menginjak remaja, pengaruh sosial mulai cukup tinggi. Kita harus memperhatikan bagaimana teman-teman anaknya di sekolah, bagaimana tempat bermainnya, lalu orang-orang di luar keluarga juga harus kita perhatikan bagaimana sikap mereka terhadap gadget dan game. Ada lingkungan pertemenanan yang sehat yang memberikan berbagai experience yang menyenangkan sehingga anak merasa bahagia bermain. Tapi jika di lingkungan sosialnya anak ini dibuli terus dan mendapat pressure, tentu akan memberi dampak negatif bagi anak.

Kondisi Psikologis. Yang terakhir adalah kondisi psikologis. Ini perlu dicermati apakah trigger ketika seseorang menjadi adiksi diakibatkan oleh faktor tertentu. Misal, anak kita jadi tidak bisa berhenti main game di momen-momen menjelang ujian karena merasa stress. Faktor psikologis ini yang menyebabkan emosi jadi tidak stabil, merasa cemas, depresi, tak berharga, dan tidak punya tujuan. Jika faktor psikologis ini terjadi, maka kecenderungan untuk mengalami adiksi jadi semakin tinggi juga.

Kalau melihat kelima elemen tersebut, keliatan yah itu merupakan faktor dari paling dalam diri anak sampai ke paling luar yang dapat mempengaruhi anak menjadi pecandu. Dan di pembahasan tentang penyebab adiksi ini, tidak ada yang menyebutkan zat atau benda pembuat adiksinya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kecanduan adalah akibat, bukan sebab.

Menyembuhkan Adiksi

Dengan memahami kelima elemen di atas, kita bisa memulai membangun situasi dan kondisi yang bisa mencegah tercadinya adiksi. Kalau kasus aku kecil, kedua orang tua ku gak ada yang punya kecenduruang adiksi sehingga dari sisi genetik mungkin tidak beresiko. Lalu kedua orang tua ku memberikan afeksi yang sangat cukup diwaktu kecil. Walaupun cenderung sibuk, tapi waktu yang diberikan sangat berkualitas. Bapak sering dinas ke luar negeri, tapi ketika di rumah, kita main game bareng. Kemudian yang ketiga, lingkungan rumah ku penuh dengan aktivitas. Selain game, ada juga lego, ada juga robot-robotan, ada juga teman-teman main yang sering ngajak sepedaan, main basket, main bola, dan jalan-jalan. Sosial influence juga dari kecil sampai besar berada dalam lingkungan pergaulan yang sehat. Dan bekal-bekal kematangan emosi yang dipupuk sedari kecil oleh kedua orang tua membuat kondisi psikologis yang menekan tidak membuat aku lari menjadi pecandu.

Nah, pertanyaannya, apa yang dilakukan jika seseorang sudah kecanduan. Dalam konteks ini, klo anak kecanduan game. Balik ke statement ku awal yah, kita gak punya kapasitas untuk menyimpulkan anak itu kecanduan atau enggak yah. Harus ke psikolog atau psikiater. Tapi jika ada behaviour anak yang sudah mulai dirasa agak mengganggu aktivitasnya dengan bermain game terus, kita sebagai orang tua harus sudah mulai refleksi diri. Karena kecanduan game itu bukan disebabkan oleh gamenya, tapi disebabkan oleh salah satunya kita sebagai orang tua. Kalau ada anak yang kecanduan, apa yang salah dari kita sebagai orang tua dalam mendidik anak.

Ketika aku menjadi orang tua, aku sendiri sebenernya agak takut dalam memberikan game ke anak ku. Sampai umur empat tahun, screentime yang dimiliki anak paling hanya Youtube. Itu pun seringnya nonton di TV agar orang tua bisa terus memantau dan memilihkan film yang mau ditonton. Tapi di masa pandemi ini screen time anak ku naik drastis dan mulai ku kenalkan dengan game. Satu indikator yang ku pegang erat adalah jangan sampai game itu jauh lebih menyenangkan dan membahagiakan daripada orang tuannya. Contoh kasusnya adalah jika anak ku lagi main game, klo ku bilang “yuk main sama papa yuk”, maka game nya langsung ditaro dan langsung main sama aku. Kalau sampai dia milih game daripada aku, berarti ada yang salah dengan situasi parenting di rumah.

Jadi kalau udah sampai anak gak mau disuruh berhenti main game, disinilah kita harus mulai melakukan perubahan. Perubahannya bukan untuk anaknya, tapi untuk kitanya. Gimana cara kita komunikasi sama anak, sudah cukupkah afeksi kita untuk anak, gimana kita memberikan aturan dalam bermain, dan lain sebagainya. Contoh komunikasi yang salah adalah ketika kita mau nyuruh anak berhenti main game, kita sambil di meja makan dan teriak ke anak kita yang di kamar untuk berhenti main game. Cara yang benar adalah kita datang ke kamar anak kita, duduk di sebelahnya, coba pahami game apa yang lagi dimainkan, dan tanyakan kenapa dia seneng main game itu. Terus ketika sudah berada dalam frekuensi yang sama, baru ajak anak itu melakukan aktivitas yang lain. Ini cuma contoh aja yah, masih banyak implementasi lainnya yang lebih cocok buat situasi dan kondisi temen-temen yang mungkin berbeda-beda. That’s why penting banget dateng ke profesional untuk minta saran dan mengetahui root cause nya ada dimana.

Penutup

Sebagai penutup, saya mau share beberapa tips yang saya gunakan sehari-hari dalam konteks mencegah anak kecanduan. Literasi digital itu sangat penting, bagi anak dan orang tua. Jadi kita harus mengenalkan gadget sedini mungkin dengan kadar yang pas dan konten yang sesuai. Protokol dalam kita memberikan gadget ke anak juga harus kongkrit dan solid. Kita jelaskan ini handphone punya ayah, di dalamnya ada permainan yang bisa ngebantu kamu refrehsing dan belajar, tapi jangan lama-lama yah mainnya. Dan konsisten ketika waktu habis, kita sudahi dengan cara yang baik dan sebisa mungkin dengan subtitusi aktivitas yang sama menyenangkannya. Oh ya, dan jangan lupa semua game yang diberikan kepada anak harus sudah discreening dulu yah sama orang tuanya.

Semoga tips dan cerita di artikel ini bisa memberi manfaat buat para orang tua di luar sana yah. Abis ini, aku mau coba bantu para orang tua untuk menambah wawasan terkait game yang ada di pasar. Ada game apa aja yang cocok untuk anak, ada game apa aja yang bisa dimainkan bersama-sama sekeluarga, atau ada game populer apa yang ngetrend banget tapi ternyata belum untuk usia anak kita. Kalau ada request ngebahas game apa atau pengen tahu tentang suatu judul game agar bisa lebih paham konten game untuk dikenalkan kepada anak, tulis di kolom komentar yah 🙂

About Adam Ardisasmita (1373 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

2 Trackbacks / Pingbacks

  1. Cara Mengenalkan Game Untuk Anak #BelajarPakaiGame – Ardisaz
  2. Belajar Pakai Game : Overcooked 2, Melatih Kerja Sama dan Koordinasi – Ardisaz

Tinggalkan komentar