Ketika Evernote Mengganti Bisnis Model Mereka
Startup atau produk yang bersifat pendukung produktivitas dan kebutuhan sehari-hari, banyak yang menggunakan model free dan premium. Saya pribadi kalau benar-benar mengutilisasi dan puas dengan suatu produk lalu ada kebutuhan untuk menggunakan layanan tersebut lebih dalam, saya tidak segan untuk membelinya. Contohnya adalah tools untuk blogging. Saya tidak ragu mengeluarkan uang untuk membeli Blogo karena saya puas dengan software-nya dan sangat bermanfaat untuk saya.
Banyak juga layanan yang gratis tapi tidak saya upgrade karena memang yang gratisnya sudah cukup. Seperti Todoist. Versi berbayarnya berisikan fitur-fitur yang menurut saya tidak penting sehingga pakai yang free saja cukup. Sama seperti Dropbox, space yang disediakan saat ini masih cukup sehingga tidak perlu upgrade. Atau Trello dimana fitur Gold-nya buat saya juga tidak menarik.Tapi jika kebutuhan saya meningkat dan saya butuh fitur premium, saya sudah siap-siap untuk membeli versi premiumnya. Jadi memang urutannya saya suka dengan fitur freenya, lalu kebutuhan saya meningkat, maka saya tidak akan ragu mengeluarkan uang untuk versi premiumnya.
baca juga : [Review] [App] Evernote, Note Multifungsi
Yang terjadi di Evernote menurut saya cukup mengejutkan. Saya sebenernya udah melirik-lirik apakah perlu fitur premium mengingat saya sudah mulai banyak memasukan attachment di dalam notes sehingga butuh storage. Kalau penggunaan Evernote saya semakin berat, pasti saya akan beli premiumnya. Tapi yang terjadi, Evernote mengubah price range aplikasinya dan membuat versi basic yang free-nya menjadi kurang menarik. Fitur Evernote yang saya suka adalah sinkronisasi notes multiple devices. Device yang saya pakai pun sangat banyak. Saya pakai dua Laptop, satu untuk di rumah satu untuk mobile. Handphone juga pakai dua. Lalu ada tablet dan ada satu lagi laptop windows di rumah incase butuh windows. Jadi saya ada 6 devices yang butuh notes yang tersinkronisasi dan Evernote memfasilitasi hal tersebut.
Di perubahan bisnis model mereka, Evernote membatasi jadi hanya 2 devices yang boleh dipakai di versi free. Lalu mereka menaikan harganya lebih mahal, yang awalnya plus $3/month (sekitar 40rb) jadi $4/month (sekitar 50rb) yang premium dair $6/month jadi $8/month. Harga yang mereka berikan lebih mahal dari aplikasi lain yang ada di pasaran. Ini tentu membuat saya jadi lebih melirik aplikasi pesaingnya daripada membayar harga yang lebih mahal untuk Evernote. Contohnya OneNote punyanya Microsoft. Dengan harga 80rb rupiah perbulan, kita bisa dapat Office 365 yang isinya ada lebih banyak software dibandingkan yang bisa diberikan oleh Evernote. Beda 20rb bisa dapat tidak hanya OneNote, tapi PowerPoint, Word, Excell, OneDrive, dan lain sebagainya. Belum juga masih ada layanan sejenis yang gratis dan punya model bisnis lebih menarik daripada Evernote siap menyambut imigrant yang kecewa dengan Evernote. Bahkan ada web yang membahas cara imigrasi dari Evernote ke layanan lain (baca di sini).
Yang dilakukan Evernote sebenernya keputusan sulit yang harus mereka ambil. Mereka harus bisa sustain dan monetize. Nampaknya mereka kesulitan memonetisasi platform mereka. Sudah beberapa model pembayaran mereka coba sampai jualan merchandise, tapi masih tetap gagal. Bahkan kegagalan finansial ini membuat mereka harus menutup beberapa layanan dan me-layoff banyak karyawannya demi efektivitas. Sayangnya strategi yang mereka gunakan untuk mengubah model monetisasi ini kurang cantik. Harusnya alih-alih mengurangi fitur krusial di versi free yang sudah dinikmati user, lebih baik memberika fitur baru yang jauh lebih bagus di fitur premium. Atau kalaupun ingin mengurangi fasilitas di fitur free, dilakukan riset dulu sampai titik mana masih bisa diterima oleh pengguna. Terkait harga pun begitu, ada baiknya juga dilihat dulu mana yang kira-kira masuk dengan ekspektasi para penggunanya.
Contoh yang melakukan perubahan model monetisasi yang baik adalah Unity. Unity merubah layanan pembayarannya dengan harga yang lebih luas rangenya sehingga bisa dinikmati oleh para penggunanya sesuai dengan kebutuhan. Semua yang ada di versi free tidak berubah. Namun di versi pro, Unity membuat berbagai layanan baru yang menarik seperti analitik, akses eksklusif ke aset store, course untuk sertifikasi, dan berbagai fitur yang memang dibutuhkan oleh penggunanya. Dan untuk mengimbangi perubahan harga ini, mereka memberikan fitur yang dibutuhkan oleh banyak developer, yakni menghilangkan splashscreen Unity di game yang kita buat menggunakan Unity, di price range paling bawah sehingga developer tidak akan segan untuk berlangganan.
baca juga : Memilih Fitur Terbaik Daripada Yang Banyak Fiturnya
Oh ya satu lagi, ketika awal Unity merubah skema ini, para penggunanya banyak yang protes. Unity lalu mendengar protes tersebut dan membuat perubahan demi menjaga perasaan usernya. Sekarang banyak yang protes, bahkan hingga mengubah rating di store menjadi 1 bintang untuk Evernote. Apakah Evernote akan mendengarkan protes ini dan memberikan perubahan? At least jumlah device yang bisa sync ditambahkan sih klo kata saya. Kalau 5 saya senang, tapi 4 atau 3 pun tidak masalah.
Pertanyaan pentingnya adalah, apakah saya akan tetap pakai Evernote atau akan menggunakan OneNote (atau layanan lainnya). Saya punya waktu 30 hari untuk riset, mencoba berbagai apps, sebelum akhirnya batas 2 devices berlaku. Seperti yang biasa saya lakukan, saya akan mulai membandingkan UX di tiap aplikasi, harga dengan yang diberikan apakah sepadan, dan berbagai testing di tiap platform hingga akhirnya memutuskan ingin menggunakan yang mana. Kalau saya tidak menemukan yang lebih baik dari Evernote, at least tidak ada yang mendekati dari sisi fungsional dan UX, maka saya akan tetap menggunakan Evernote walaupun harus berbayar. Itu artinya harga yang dipasang oleh Evernote ternyata memang sesuai dengan kualitas yang dia tawarkan. Jadi, let’s see aja 😉
Tinggalkan Balasan