Buat Mereka Bangga
Sabtu lalu saya hadir ke acara Reuni Akbar Ikatan Alumni Insan Cendekia. Di situ saya bertemu kembali dengan guru-guru saya di salah satu tempat yang menjadi turning point penting dalam hidup saya dan sekian banyak alumni yang kini sudah menjadi orang yang tidak hanya sukses, tapi bisa membawa manfaat bagi sekitarnya. Saya bertemu dengan guru-guru yang kalau ngasih ujian selalu dengan standar soal lebih tinggi dari yang seharusnya, melihat papan pengumuman nilai dimana saya yang SMP selalu mendapat rangking satu dan tidak pernah mendapat nilai jelek tapi di papan itu saya melihat nilai ujian matematika saya 17 (boro-boro bisa rangking satu), dan saya melihat titik-titik dimana dulu di situ saya merasa depresi, kesal, lelah dan titik-titik dimana saya bisa merasa bangga, bahagia, dan haru.
Sebelum hari Sabtu kemarin, mungkin sebagian besar dari kita sedang sibuk menatap bintang. Mengejar mimpi-mimpi kita yang ada di langit. Beberapa sudah terbang cukup tinggi dan bersinar terang. Beberapa merasa bangga dengan apa yang sudah mereka capai dan raih hingga bisa berada di titik puncak. Saya sendiri pun sedang sibuk menjadikan diri saya berada di posisi yang saya inginkan, berjuang 24 jam dikali 7 hari untuk menjadi besar. Tapi mungkin karena mata kita semua sedang menatap jauh ke depan, tidak banyak yang melihat ke belakang. Karena kita sibuk melihat bintang di langit, kita tidak melihat ada tangan-tangan yang menopang tubuh kita hingga kita bisa berada di atas.
baca juga : Integritas Beragama: Tribute to Bapak
Kedua orang tua kita, (Alm Bapak dan Ibu saya) dan para guru kita, mereka lah yang saat ini secara tidak terasa sedang mengangkat kita ke atas dan mendorong kita menuju mimpi kita. Mungkin fisik mereka tidak menyentuh badan kita hari ini, mungkin kita merasa apa yang kita capai sekarang adalah jerih payah kita sendiri. Padahal, momen-momen dulu ketika kita frutasi, aturan-aturan yang dibuat yang dahulu kala membuat kita kesal, hingga nasihat-nasihat yang kita anggap “ceramah” itu, secara tidak sadar memberikan kita “pagar” yang mengarahkan kita kepada titik kita saat ini berdiri. Bayangkan jika kita mengalami pagar dan rintangan itu ketika kecil, mungkin saja hari ini kita terjerumus ke jurang.
Kemarin, ada salah satu siswa yang bertanya ke saya. “Kak gimana sih caranya biar gak remedial terus?”, saya jawab tidak ada cara lain selain belajar dan berusaha keras. Lalu siswa itu kembali bertanya “Tapi susah kak di sini karena kegiatannya padet banget, gak sempet belajarnya.” Lalu saya teringat petuah alm. guru matematika saya di Insan Cendekia, “Pelaut yang handal tidak lahir dari laut yang tenang.” Segala kesulitan yang kita alami itu ibarat ombak dan arus yang berat, hal yang tidak kita sukai tapi harus kita lakukan ibarat angin yang berhembus berlawanan dengan arah gerak kita, belum lagi kita dalam kondisi rapuh, terombang-ambing, dan berkali-kali terancam karam. Tapi lalu saya bilang, mending kamu jatuh sekarang dibandingkan kamu jatuh ketika sudah terjun ke dunia real. Kamu sekarang jatuh, kamu punya bapak ibu kamu, kamu punya guru-guru kamu, yang mereka akan mengajarkan caranya bangkit, akan memastikan bahwa kamu akan terjun ke dunia dengan bekal dan kemampuan yang cukup. Justru kalau kamu merasa hidup kamu kok tenang-tenang dan gampang-gampang aja, kamu perlu merasa khawatir, karena kenyataannya dunia itu keras.
baca juga : Biografi M. Syamsa Ardisasmita dari Seorang Anak
Kemarin, ratusan “pelaut” itu kembali ke sekolah. Menunjukan bagaimana medan tempur di luar sana berhasil mereka taklukan dengan bekal selama di bawah asuhan bapak ibu guru. Saya katakan kepada siswa itu, “kamu cukup lewati saja masa-masa pendidikan kamu dengan baik, maka tinggal tunggu waktu saja sampai kamu bisa sesukses mereka.” Ke depan itu persaingan akan semakin ketat, apalagi akan ada MEA, kalau ombak di dunia pendidikan saja kamu tidak kuat, apalagi klo sudah di luar sana. Makanya saya cukup concern ketika beberapa kali ke sekolah dan melihat ada pressure dari eksternal dan internal yang membuat “ombaknya semakin lunak.” Pesan saya buat para orang tua atau anak-anak yang merasa “kasian anaknya klo diginiin”, “ah susah banget sih di sini”, “kenapa banyak banget aturan”, dan keluhan lainnya, kamu coba lihat mereka yang sudah melewati proses pendidikan itu sekarang sudah jadi apa.
Jadi pesan saya untuk tidak hanya para siswa Insan Cendekia, tapi juga seluruh siswa dan pelajar di luar sana, buatlah kedua orang tua dan guru-guru kita bangga. Buatlah bibir mereka tersenyum dengan prestasi dan karya kita, dengan progres kita mengejar mimpi-mimpi kita, dan dengan tetap memegang teguh nasihat yang sudah mereka berikan. Atau kalau itu terlalu berat, at least jangan buat mereka besedih dengan menunjukan bahwa kita sudah menjadi orang yang berkarakter baik dan mampu memberikan manfaat untuk lingkungan sekitar kita. Momen reuni kemarin mengingatkan saya untuk terus berbakti kepada kedua orang tua dan guru saya, mengingatkan saya akan value-value yang mereka ajarkan dan harus saya jaga, dan mengingatkan saya betapa hari ini kita tidak akan jadi apa-apa tanpa peran mereka di hidup saya.
*link-link di atas sengaja saya taro tentang alm Bapak yang telah menanamkan value-value positif, karakter yang kuat, dan integritas kedalam diri saya
Tinggalkan Balasan