Mempertanyakan Sistem Ospek Saat Ini Part 2
Minggu ini adalah minggu pertama siswa didik baru masuk ke sekolahnya yang baru. Biasanya, selalu ada proses orientasi dari kakak kelas kepada juniornya yang baru masuk ini. Kalau di kampus dulu, istilahnya kaderisasi. Dan saya pribadi termasuk yang mendukung kaderisasi, asalkan dilakukan dengan baik dan memberikan hasil yang positif.
Baca tulisan saya tentang Pentingnya Kaderisasi
Kalau kamu melihat di sosial media, kemarin, ada kejadian menarik yang saya ikuti di Twitter. Salah satu penulis buku ternama, Asma Nadia, pagi itu menemani anaknya yang sedang menjalani ospek di SMA . Sayangnya, kegiatan ospek di SMA tersebut menurut penuturan Asma Nadia masih ada yang tidak beresensi dan cenderung jadi ajang “balas dendam” dan merendahkan martabat siswa baru.
Melalui akun Twitter tersebut, Asma Nadia memberikan support untuk anaknya yang dengan berani berangkat menuju sekolah pagi dengan tujuan untuk mempertanyakan kegiatan yang tidak mendidik tersebut. Singkat cerita, akhirnya dengan penuh suasana damai, kepsek, guru, dan panitia pun menghentikan kegiatan tersebut dan meminta maaf atas kegiatan yang sudah dilakukan.
Kalau mau tau lebih banyak tentang kronologi kegiatannya, lalu respon dari para siswa-siswi, bahkan ada aksi “cyberbullying” kepada Asma Nadia (dan mungkin anaknya), kamu bisa langsung kunjungi akun twitter beliau di @asmanadia.
Yang ingin saya soroti, saat ini masih ada sekolah yang menjadikan kegiatan MOS sebagai tradisi tanpa memikirkan kembali latar belakang kegiatan tersebut dilakukan dan tujuannya apa. Bahkan ada yang menjadikan MOS sebagai ajang balas dendam. Karena tradisi ini sudah membudaya sekian lama, jadi kegiatan-kegiatan yang turun-temurun dilakukan itu menjadi hal yang wajar, walaupun banyak sisi negatifnya.
Saya termasuk orang yang cukup perhatian terhadap ospek dan kaderisasi. Di SMA dan di kampus, saya terlibat di banyak sekali kegiatan ospek. Dan memang benar, tidak mudah untuk mengubah tradisi yang sudah lama mengakar. Kamu juga merasakan hal itu kan dulu?
Baca tulisan saya waktu di kampus dulu: Mempertanyakan Sistem Ospek Saat Ini
Hal yang salah, ketika dilakukan bersama-sama dalam waktu yang lama, bisa berubah jadi dianggap benar. Dan untuk bisa mempertahankan kebenaran di dalam kondisi yang seperti itu bukanlah hal yang mudah. Sejujurnya saya sangat salut dengan langkah yang diambil anak dari Asma Nadia ini.
Butuh keberanian besar untuk menjadi orang yang berbeda dan mempertahankan prinsipnya. Untungnya, menteri pendidikan kita, Anies Baswedan, memberikan support yang luar biasa besar melalui surat edarannya terkait dengan pelaksanaan kegiatan MOS. Tanpa itu, mungkin tidak ada yang berani melakukan ini di sekolahnya karena merasa sistemnya sudah sangat rusak. Surat kecil tersebut menjadi titik cerah kemajuan pendidikan di Indonesia.
Semoga kejadian yang sempat jadi fenomena di dunia maya ini bisa memacu lebih banyak lagi siswa dan orang tua yang kritis mengawasi jalannya MOS. Sekali lagi, saya sangat mendukung kegiatan MOS dan menganggap kaderisasi itu penting. Selama hal itu dilakukan dalam koridor yang positif dan memang memberikan manfaat.
Buat kamu yang pernah mengalami ospek atau MOS dulu, menurut kamu gimana pelaksanaannya? Apakah masih ada unsur yang sifatnya “hanya balas dendam” atau “melecehkan.” Apa malah sistem MOS-nya sudah maju dan terbukti berhasil mengeluarkan output yang baik. Coba share yah pengalaman ospek kamu waktu SMP atau SMA atau pas kuliah seperti apa 🙂
Katanya sih yang namanya “orientasi” itu produk dari budaya, Kak. Hanya indikator di permukaan. Bisa jadi memang ada kegagalan dalam pemahaman nilai pendidikan ya di Indonesia.
SukaSuka
Yg menarik, sistem sekolah kita kan awalnya dibangun dari sistem Belanda. Apakah ini bagian dari kultur penjajah ketika itu? Hahaha
SukaSuka
Kakak Adam, tulisan ini bikin inget jaman MOS SMA dulu. Orang rumah ikut begadang bikin topi dari kertas yang kena keringet aja udah ga nyaman, bingung kenapa gak pake topi SMA aja yang memang sudah ada dan ga perlu bikin sendiri. Belum lagi rambut yang dikuncir limabelas, disuruh pakai topi yang aneh, jadinya malah gak bisa dipake karena kuncirannya menghalangi topinya. Hilang semua esensi yang kaka kelasnya bilang: “Itu untuk melindungi kamu dari panas dek”. Tiap pagi nyokap bangun pagi dan ikut mikir gimana nguncirnya biar topinya bisa muat. Akhirnya hari ketiga MOS gw ga bolos 😛 aseli rempong bgt huahahaha belum lagi tugas-tugas yang pake cypher code dan mesti mecahin sendiri. Belum bikin bekal yang ada speknya (sosis warna ijo, tempe bentuk bintang). Setelah melewati jadi lucu, tapi pas menjalaninya rasanya mau nabok (kaka kelasnya). Fufufu duh jadi curcol kak
SukaSuka
ah salah ketik, maksudnya hari ketiga MOS gw bolos wakakaka
SukaSuka
Untung ospek pas kita di informatika bagus yah, setidaknya beresensi dan kita diberi ruang utk memberi kritik klo ada yg tidak logis. Pak Anis baswedan harus sering sidak dan lebih tegas nih.
SukaSuka
Gw dari dulu ikut orientasi gini2an (mau SMA ato kuliah) cman biar kenal sama temen seangkatan koq =p
Kalo buat tujuan yang itu sich, orientasi tuh berguna banget, soalnya kalo gak gitu gw bakal susah kenalan ama orang laen XD
SukaSuka
Waktu sma ada gak tugas2 yg merendahkan martabat gitu rak?
SukaSuka
You and I know we both on a same boat.
SukaSuka
Kalo pas sma lu gimana?
SukaSuka
Gw masih berpendapat agitasi pas kaderisasi itu kurang bermanfaat sih dam.
SukaSuka
Berarti metode tersebut gak cocok untuk lu Bi. Di militer kan masih pakai agitasi karena melatih chain of command dan kepatuhan. Klo gw rasa, susah mencari model kaderisasi yang cocok untuk semua orang. Setiap orang itu unik dan perlu metode yang berbeda. Sayangnya, kondisinya masih tidak memungkinkan untuk memilah dan memberikan metode yang berbeda ke tiap kelompok anak, jadinya semua metode diberikan ke semua orang. Itu salah satu alasan kenapa pas gw jadi mamed, terpaksa masih menerapkan agitasi. Karena ada orang yang senang dan merasa metode agitasi itu cocok untuk mereka.
SukaSuka