My Journal

Kumpulan Kegagalan Membangun Arsanesia dan Cara Bangkitnya

Di Facebook lagi rame yah temen-temen sesama pelaku industri membagikan kisah yang menurut saya cukup wholesome dan jarang diulas, yakni kisah gagal. Dulu tuh saya inget ada sebuah komunitas yg rutin bikin acara untuk sharing kegagalan dari masing-masing membernya. Memang sudah jadi sifat natural manusia yah ingin menampilkan versi terbaiknya dan jarang membuka kegagalan-kegagalannya. Mungkin orang mikir apakah karena pencitraan, apakah karena malu sharing kalau pernah gagal, atau alasan lainnya. Cuma kalau saya pribadi, saya selau sebisa mungkin untuk sharing apapun itu, baik itu momen gagal atau momen berhasil di blog ini. Jadi sebenernya kamu bisa baca-baca aja pengalaman itu di sini. Tapi kali ini saya ingin coba bahas kegagalan ini dari sisi yang agak berbeda.

Ngomongin kegagalan, apa aja sih fase gagal yah pernah dialami, dan impactnya separah apa? Buat gampangnya, dari 2011 Arsanesia udah bikin game, ada Gamelan Player, Temple Rush Prambanan, Slapillar, Little Lea, Flipalago, Roly Poly Penguin, Pippo Peri Cinta, Si Juki Warteg Mania, Si Juki Warteg Gaya Baru, Pippo Brain Training, Learn With Pippo, dan yang terakhir Summer Town, itu sederetan kegagalan yang dialami Arsanesia dalam meluncurkan game nya. Itu baru deretan game yang berhasil dirilis yah, berapa banyak judul game yang baru setengah jalan tapi udah harus kita bunuh. Jadi gak hanya ada gagal setelah rilis, gagal merilis pun sering. Makanya pas disuruh recollecting momen gagal, kayak emang yang dialami di Arsanesia itu tangga dari satu kegagalan ke kegagalan lain, cuma yang penting adalah gimana cara kita memitigasi kegagalan dan mencegah resiko gagal di kesempatan berikutnya.

Musuh terbesar dari kegagalan dalam membangun perusahaan itu adalah kehabisan bahan bakar. Dari 2011 sampai 2023, ada banyak sekali studio game yang terpaksa harus gulung tikar karena gagal mendeliver game-nya, atau gagal mendapatkan kesuksesan secara komersil dari game nya. Dan di era itu, risk untuk gagal dari mendevelop sebuah game itu ditanggung sendiri sama developer. Misal dia butuh mudah 200jt buat develop satu game, klo game nya gagal, yaudah dia rugi 200jt. Atau ya dia perlu ngumpulin 200jt untuk bisa bikin game nya. Kalau sekarang mungkin situasinya sudah lebih baik yah. Di Indonesia kita sudah punya akses ke publisher yang bisa mendanai development cost kita sehingga resikonya ditanggung bareng-bareng, bahkan lebih gede di publisher biasanya. Jadi buat saya, no satu untuk memitigasi kegagalan itu adalah dengan melakukan kalkulasi dengan baik. Seberapa besar kita bisa gagal, seberapa banyak uang yang kita invest untuk develop game kita, mau cari darimana uang tersebut, kalau game kita ternyata flop, gimana cara kita recover secara finansial, intinya gimana caranya kalau pun kita gagal, perusahaan masih tetap berjalan. Karena rasanya kegagalan itu gak bisa terelakan sih seberapa besar atau kecil skala game kita. Perusahaan yang sudah bertahun-tahun bikin game skala triple A saja bisa flop. Apalagi kita 🙂

Mungkin sedikit intermezo, Arsanesia udah berkali-kali mengalami momen hampir bangkrut. Ada titik dimana kita bayar listrik dan internet aja gak ada uangnya. Buat bayar gaji crew masih bisa nego-nego ditunda pas ada uangnya. Tapi listrik dan internet kan gak bisa dinego. Dan tanpa itu, ya kita gak bisa kerja kan? Akhirnya jalan keluarnya adalah kita menggunakan “jadi narsum di acara TV” sebagai bisnis model. Waktu itu satu narsum dibayar sekitar 200rb rupiah, kita kirim 3 narsum, akhirnya cukup untuk bayar listrik dan internet. Untungnya sewa kantor kita bisa nego karena ngontrak berdua sama Startup lain yang namanya NoLimit. Terus dalam beberapa keadaan lain yang terdesak, pernah juga Arsanesia minjem softloan ke startup yang kantor nya sekitar 200 meter dari kantor Arsanesia waktu itu, namanya RadyaLabs. Dulu tuh ada invoice client sekitar 20jt yang belum cair. Kita minjem uang ke RadyaLabs sampai uangnya cair. Jadi yang namanya founder gak terima gaji, bahkan harus pakai uang tabungan untuk keperluan kantor sih itu udah makanan sehari-hari, namanya juga bisnis. Cuma bedanya, semakin kesini, stake yang dipertaruhkan semakin gede. Kalau dulu Arsanesia gak punya cashflow cuma perlu nanggung 5 orang. Kalau sekarang nanggung 18 orang :’) Jadi kalkulasi resiko di Arsanesia harus lebih matang lagi.

Hal berikutnya yang perlu diperhatikan dari kegagalan adalah mencari tahu penyebabnya, pelajari, dan bangkit dengan lebih baik lagi dari sebelumnya. Inilah kenapa networking dan upskilling jadi penting. Kita perlu belajar dari orang lain yang pernah gagal juga. Kita juga perlu tahu tips and trick dari mereka yang berhasil. Akses ke pengalaman gagal dan berhasil orang lain itu hanya bisa diakses melalui networking. Coba, berapa banyak founder gamedev yang sharing pengalaman gagal dan sukses mereka di sosmed 🙂 Bisa dihitung jari kan? Jadi memang kita harus berjejaring agar bisa kenal dan bisa belajar dari orang lain. Upskilling juga gak kalah penting. Buat saya sih mentoring IGDX itu jadi momen yang sangat pivotal yah. Apalagi waktu dapet mentor nya Langer dan Ben. Itu beneran fondasi Arsanesia dari sisi company vision, strategy, culture, dll diobrak-abrik dan dibenerin dari nol. Bahkan dititik itu juga saya jadi lumayan terinterospeksi mengenai style leadership saya yang ternyata cukup damaging ke culture di perusahaan. Ini di salah satu mentoring dengan Ben pas ngebahas company culture, dia bilang kalau mau punya culture dimana orang-orang di timnya berani speak up dan bisa grow, kita sebagai leadernya harus memberikan ruang. Walaupun niat kita gak dalam konteks untuk mengarahkan atau mendikte, tapi title kita sebagai founder itu jadi bias dan membuat orang-orang jadi gak berani mengeluarkan apa yang dipikirannya. Saya menyadari kalau saya ini founder, CEO, dan memiliki gaya komunikasi yang persuasif dan dominan. Akhirnya Ben memberikan tips, kalau ada momen dimana feedback harus dikeluarkan oleh semua orang, selalu start dari yang paling junior untuk ngomong, dan kita terakhir. Dan disetiap kesempatan, selalu diingatkan kalau “bobot” suara saya ini sama kayak semua orang, jangan dianggap instruksi, dan belum tentu benar sehingga bebas untuk dibantah.

Dengan mindset untuk bisa punya perusahaan yang sustain dan grow, dan sekarang dibekali dengan company culture dan vision yang lebih jelas, saya melihat Arsanesia di tahun ini jauuuuhhh lebih matang dibandingkan di 2011. Dan pendewasaan ini hanya bisa didapatkan dari satu kegagalan ke kegagalan lainnya. Makanya saya selalu menganggap kegagalan bukan hal yang negatif dan selalu berusaha secepat mungkin mengambil pelajaran dari kegagalan itu, untuk langsung diterapkan ke Arsanesia berikutnya.

About Adam Ardisasmita (1373 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

Tinggalkan komentar