My Journal

Retribusi Game Dengan Penerimaan Yang Jelek

Saat ini kita banyak mengadopsi pendekatan tech company dalam membangun produk untuk diterapkan di industri game. Teknik-teknik seperti fast iteration atau agile, design thinking, sprint, A/B testing, dan banyak metode-metode yang lahir dari dunia startup mulai diadopsi ke industri game. Hal-hal tersebut secara science mudah untuk di kuantifikasi menjadi parameter penting dalam proses pengembangan sebuah game. Tapi ada satu hal yang menurut saya itu sulit sekali diukur, dan mungkin keputusan dibalik hal tersebut sangat sulit untuk dijustifikasi. Hal tersebut adalah “kapan saya harus membunuh project yang sedang saya kerjakan?”

Dalam konteks agile, kita bisa langsung punya parameter jika feedback dari user yang kita wawancara atau test sebagian besar memiliki respon yang negatif, maka kita harus berani membunuh ide game tersebut. Cuma di beberapa kasus, kita bisa melihat game developer yang terus memperjuangkan idenya walaupun resepsi dari pemain cukup negatif. Coba lihat kasus FF XIV, atau No Man Sky, atau Cyberpunk, game tersebut dapat resepsi yang cukup jelek. Saya gak tahu juga yah apakah mereka melakukan user testing di dalam fase developmentnya dan bagaimana hasilnya. Tapi dengan game yang sudah dirilis dan cukup flop, mereka terus memperjuangkan untuk memberikan perbaikan-perbaikan, sampai akhirnya game tersebut menjadi salah satu yang mendapat rating tinggi. Final Fantasy XIV sampai sekarang masih jadi game MMO terbaik dan terus-terusan mendapat award, No Man Sky juga, sekarang menjadi salah satu game yang dicintai banyak orang karena berhasil memberikan game yang melebihi ekspektasi awalnya, demikian juga Cyberpunk.

Ini yang bikin kita sebagai indie kadang galau. Kalau konteksnya perusahaan yang invest ratusan juta dollar, cukup worth it untuk mereka memperjuangkan gamenya sampai jadi bagus karena mereka sudah invest besar. Atau malah sebaliknya, mereka gak mau lanjutin lagi karena takut tenggelam dalam sunk cost fallacy. Tapi kalau buat indie, kadang satu game itu ya beneran life line kita. Kalau game itu gak sukses, kita gak ada runway lagi. Jadi begitu game nya rilis dan ternyata flop, memang sudah tidak ada lagi bahan bakar untuk memperbaikinya. Makanya sebagai indie, testing sedini mungkin dan melakukan market riset yang dalam menjadi penting sih. Cuma yang menarik adalah andai kita punya pilihan setelah game itu rilis untuk spending sisa uang di tabungan kita untuk 1. Memperbaiki game itu sampai bagus dan 2. Pindah bikin project lain yang baru, kira-kira kamu pilih mana? 1 atau 2?

About Adam Ardisasmita (1309 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

3 Comments on Retribusi Game Dengan Penerimaan Yang Jelek

  1. Saya memiliki beberapa prototype game puzzle. Ada yang di polish & optimize sebisa mungkin namun ketika publish jumlah player-nya tidak signifikan setelah hari pertama. Saya pikir dalam 24 jam mendapat 100x play sudah terbilang bagus namun kenyataan berkata lain, dalam 2 minggu tidak lebih dari 120 pemain! Melanjutkan kembali rasanya berat dari segi motivasi, maka saya beralih ke prototype lainnya yang berpeluang menarik lebih banyak player.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: