My Journal

Melawan Kanker Leumyosarcoma

Hari ini tepat 3 tahun semenjak Ibu meninggal setelah berjuang selama 8 bulan melawan kanker. Tahun 2017 itu bener-bener mengajarkan saya banyak hal tentang perjuangan, positivity, membagi waktu, depresi, nyaris bangkrut, betapa berharganya waktu, hingga mengajarkan untuk melepaskan. Tapi pelajaran paling berharga adalah tidak ada yang bisa mengalahkan kesehatan. Kalau kita sudah sakit, mau jabatan setinggi apapun, kekayaan sebanyak apapun, atau amal baik sebesar apapun, semua orang bisa sakit. Ibu adalah orang yang harusnya secara teori paling gak bisa sakit yang aneh-aneh karena memiliki gaya hidup yang super sehat. Makanan-makanannya semuanya terukur, kalau nasi pakai organik dan nasi merah, bahkan udah jarang pakai nasi. Buat karbohidrat pakai umbi-umbian karena katanya lebih mudah untuk metabolisme kita. Latar belakang pendidikan yang sampai S3 di perancis untuk bidang tanaman obat membuat rumah itu penuh pohon-pohonan dan jamu-jamuan. Tapi sudah sehati-hati itu dalam pola hidup sehat pun masih bisa terkena kanker.

Kalau gak salah di bulan Januari 2017, itu pertama Ibu merasa ada keluhan. Rasanya kayak magh. Lalu ketika dicek di RS di daerah Depok. Ternyata ada tumornya. Setelah di biopsi, ternyata tumornya ganas dan harus diangkat. Pertimbangan dari keluarga besar, agar pengangkatan tumornya lancar dan bersih, maka dilakukan operasinya di Singapura. Ada anggota keluarga yang sering berobat di Singapura dan merekomendasikan untuk tindakan di sana. Saya pun menemani Ibu berangkat ke Singapura, menyewa apartemen di Lucky Plaza, pas di belakang RS Elizabeth.

Pengalaman saya berobat di Singapura sangat terkesan. Semua perawatnya sigap dan memperlakukan tiap individu seperti seorang VIP. Dokternya juga sangat detil memeriksa, bertanya, dan menjelaskan diagnosa. Flow nya emang agak beda, kita harus booking dokternya dari jauh-jauh hari, bahkan sebelum berangkat ke Singapura untuk minta jadwal. Bahkan ada agensinya yang bantu kita bookingin dokter. Sampai sana 8 Februari, dokternya ngasih test lab, terus udah bisa diangkat tumornya besokannya kalau mau. Yaudah tanpa menunggu lama, kita langsung proses untuk operasi. Ada dokter onkologi dan dokter satu lagi aku lupa, anastesi apa, yang menjadi penanggung jawab tindakan itu. Ketika di ruang rawat inap pun kedua dokter tersebut hadir seperti tim yang siap untuk bekerja sama melancarkan proses operasinya.

Ruang rawat inapnya satu kamar berdua, tapi beruntungnya adalah kasur sebelahnya kosong šŸ™‚ Walaupun begitu, saya dan keluarga tetap gak bisa menemani ibu di kamar kalau malam. Tapi yasudah, toh penginapannya deket jadi bisa langsung nyebrang untuk mampirin. Akhirnya di tanggal 9 dimulai operasinya. Kalau gak salah masuk pagi, siang udah beres. Operasinya berjalan lancar, semua sudah diangkat dan bersih, tinggal pemulihan dan treatment lanjutan. Proses pemulihan di rumah sakit klo gak salah sekitar 3 hari, terus lanjut pemulihan di apartement 3 hari lagi sambil kontrol ke RS. Selama menunggu itu, pihak RS melakukan penelitian terhadap spesimen tumornya untuk menyimpulkan ini kanker apa dan tahapan selanjutnya treatmentnya apa. Begitu hasilnya keluar, kami dijelaskan oleh dokter onkolognya klo kankernya namanya Leiomyosarcoma atautumor langka yang menyerang otot lunak. Kebetulan memang tumornya ada di area rahim. Lalu kami dirujuk ke dokter yang akan memberikan treatment kemoterapi. Harganya gak jauh beda kayak di Indonesia, tapi klo tiap beberapa minggu sekali harus ke Singapura selama 6-8x treatment, kok kayaknya melelahkan. Ada paket yang efeknya agak keras, ada paket yang efeknya ringan tapi durasinya lebih panjang dengan obat yang lebih mahal. Akhirnya kita putuskan untuk treatment kemo nya di Indonesia saja.

Treatment kemo di Indonesia bisa pakai BPJS katanya. Dan mulai bisa treatment sekitar 2-3 bulan setelah operasi agar pemulihan dulu. Cuma di sini salahnya adalah kami meremehkan BPJS. Dipikir daftar kemo untuk BPJS bisa mudah dan cepat. Sekitar 3 minggu sebelum jadwal ibu kemo, saya sudah ngurus proses BPJS dari faskes 1-nya. Dan hoki nya, pas ke klinik fasker 1, eh kok bisa-bisanya dokter yang di situ itu temen satu kelas waktu SMA. Hahaha Ada DR Amora yang memberikan rujukan BPJS untuk dirujuk ke Rumah Sakit. Saya gak sebut yah nama rumah sakitnya šŸ™‚

Nah ini problem yang paling besar yang saya alami. Mungkin ini salah kita juga yah, ketika di awal milih dokter, kita milih dokter yang bukan dokter tetap di RS itu. Aslinya dia praktik di RS lain, tapi ada jam praktik juga di situ. Jadinya si dokter ini mungkin kurang ngeh bagaimana management di RS itu, bagaimana proses BPJS di situ, dan si dokter ini jadwal praktik di situ jarang banget jadi suka susah klo mau kontrol. Di momen inilah drama dengan BPJS mulai terjadi dimana obat yang diminta sama dokter tersebut ternyata tidak bisa dicover oleh BPJS. Karena waktunya sudah mepet, malah sudah lewat dari jadwal harusnya kemo, yasudah kami putuskan kemo dengan biaya sendiri saja. Yang penting Ibu bisa ditreatment dengan baik.

Alhamdulillahnya treatment kemonya berjalan dengan sangat lancar dan mulus. Suster-susternya baik-baik, prosesnya cepat dan nyaman. Sesekali kalau harus kemo, kondisinya ada yang kurang baik, ada momen harus rawat inap semalam dulu untuk memperbaiki kondisi Ibu, baru besoknya kemo. Situasi perjuangan melawan kanker dengan kemo ini so far tidak ada kendala. Hanya yang saya sayangkan adalah si dokter itu yang suka susah dihubungi untuk kontrol karena jadwalnya padat di rumah sakit yang satunya lagi. Karena sebelum kemo, harus kontrol dulu dengan dokter itu untuk bikin surat rujukan kemo. Jadi beberapa kali agak miss waktunya.

Lalu sempat beberapa kali di sela-sela kemo, kondisi ibu agak drop karena imun tubuh lagi lemah. Dan yang saya sayangkan, mungkin juga karena banyak yang care sama ibu, cukup banyak tamu yang datang ke rumah. Harusnya di saat proses kemo, Ibu gak boleh terima tamu karena tubuhnya lagi sangat lemah. Jadilah pernah beberapa kali harus rawat inap di rumah sakit karena kondisi yang memburuk. Kondisi yang memburuk ini bikin jadwal kemo berantakan dan harus mundur-mundur.

Lalu sampai di suatu momen dimana dokternya ibu ini bilang kalau ada yang tumbuh lagi tumornya. Tapi dokter tersebut bilang tidak perlu tindakan apa-apa, kita selesaikan dulu saja kemonya. Cuma memang tricky banget karena kondisi fisik ibu semakin hari semakin tidak prima. Saya percayakan saja ke dokter tersebut bahwa tidak perlu tindakan apa-apa dan cukup dengan kemo saja. Sebenernya pengen juga sih minta 2nd opinion ke dokter onkolog yang lain, tapi kondisi ibu juga sudah kurang baik. Ini kalau gak salah di bulan Agustus 2017, kondisi yang paling drop terjadi.

Aku inget banget, Agustus 2017 ini Ibu rawat inap di rumah sakit sampai sebulan lamanya. Adik ku yang kebetulan pekerjaannya belum begitu padat, full selama sebulan “ngekos” diruang rawat inap sama Ibu. Ada momen dimana ibu kehilangan kesadaran dan gak bisa mengakses memorinya. Susah diajak ngomong. Itu katanya karena ada kadar apa yang terlalu tinggi gitu aku lupa. Lalu di bulan ini juga, ada dokter yang merawat ibu sehari-hari (bukan si dokter onkolog yang jarang nengok ibu ini yah) melihat ada kondisi yang cukup memprihatinkan. Dokter itu konsultasi ke dokter onkolog dan akhirnya resmi sudah ibu jadi pasien paliatif. Artinya adalah tumor yang tumbuh lagi itu sangat ganas, pertumbuhannya sangat pesat, dan mulai menyebar ke organ lain, sehingga tidak ada lagi tindakan yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan itu. Paliatif ini artinya yang bisa dilakukan adalah membuat pasien merasa nyaman dan fokus ke menjaga kesehatan tubuh yang lainnya saja.

Ini momen yang buat saya cukup aneh. Bagi saya yang melihat betapa kerasnya perjuangan Ibu melawan kanker dengan semua rintangan yang dihadapi, lalu dibilang kalau ini udah gak ada harapan sembuh, terus harus gimana? Di momen ini juga kalau gak salah salah satu titik dimana kondisi di kantor lagi lumayan berbahaya. Kita lagi gak ada ongoing project, cuma ada produk yang lagi di develop, sedangkan sudah harus segera butuh cash. Orang yang biasanya jualan dan nyari project di Arsanesia sedang low performance banget selama proses ini. Ditambah lagi saya baru punya anak yang juga sedang butuh-butuhnya perhatian. Jadi fix lah 2017 ini adalah tahun terberat dalam hidup saya.

Saya coba bangkit perlahan-lahan, mencoba mengurai permasalahan satu-persatu. Prioritas saya tentu kesembuhan Ibu. Ini sangat berat apalagi keluarga tahu bahwa statusnya sudah paliatif. Belum lagi untuk menjaga kondisi itu, biaya berobatnya sangat amat besar. Asuransi pribadi dari dua lembaga asuransi (satu dari kantor ku satu dari kantor ibu) jauh dari cukup untuk mencover semua biaya ini. Terus kondisi ibu juga terus-terusan drop. Setelah sudah sebulan di RS, ibu sudah pengen banget pulang ke rumah. Akhirnya setelah kondisi sudah agak stabil setelah sebulan banyak treatment sana-sini. Istilahnya memadamkan api dimana-mana. Yang obat pengurang rasa sakit lah, antibiotik level tinggi lah, semua sudah dilakukan untuk menstabilkan kondisi ibu. Akhirnya ibu bisa pulang ke rumah.

Di rumah kami sewa kasur rumah sakit yang bisa ditegakan, sewa kursi roda, dan hire perawat untuk membantu berbagai kebutuhan ibu mulai dari kebutuhan ganti perban hingga fisio terapi. Kondisinya setelah sebulan tidak dipakai jalan dan melewati berbagai seri tindakan operasi, ibu perlu belajar jalan lagi. Tapi sayangnya ketika di rumah, kondisi fisik ibu terus menerus menurun. Hingga akhirnya pada suatu hari harus kami bawa kembali ke IGD. Ketika di fase inilah secara terus menerus kondisinya menurun. Awalnya di IGD masih sadar, lalu masuk ICU, dan setelah di ICU ini sudah tidak siuman. Hingga pada suatu malam, habis aku jenguk ibu, guntingin kukunya yang udah agak panjang, ngobrol sebentar sama ibu yang waktu itu mungkin sudah menurun kesadarannya. Pas aku pulang. Aku ditelpon Ibrahim yang menjaga ibu 24 jam di situ kalau Ibu sudah gak ada. Pas 10 September 2017 malem, kami mengurus kepulangan ibu dari Rumah Sakit ke kediaman. Besoknya pun ibu dimakamkan.

Berbeda ketika di tahun 2011 Bapak meninggal karena penyakit jantung, momen 2011 itu terjadi tiba-tiba dan tanpa tanda apapun. Bapak yang sehat-sehat aja dan penuh aktivitas, tiba-tiba gak ada. Emang itu momen cukup shocking buat saya. Tapi untuk tahun 2017 ini, ada perasaan lega juga karena akhirnya ibu bisa beristirahat dari perjuangannya melawan penyakit. Semua usaha, semangat, positivity, antusiasme, dan kerelaan hati melawan penyakit kanker ini merupakan perjalanan panjang yang memberikan pelajaran berharga bagi saya. Dari momen ketika divonis status paliatif, saya sudah berusaha berdamai dengan kondisi ini dan mengikhlaskan yang terbaik. Dan ketika ibu harus dipanggil oleh Allah pun, saya sudah memiliki kesiapan hati sehingga bisa menerima dengan ikhlas.

Memang sangat disayangkan yah baik Bapak maupun Ibu harus lebih dulu pergi di saat usianya masih cukup muda. Dan mungkin yang paling merasakan efek ketidakadanya orang tua adalah adik-adik saya yah. Tapi memang seperti itulah kehidupan. Umur tua dan muda tidak jadi jaminan seseorang akan meninggal lebih cepat atau lebih lama. Semenjak itupun saya jadi semakin sadar bahwa saya bisa meninggal kapan pun, istri dan anak saya juga bisa pergi mendahului saya kapan pun, dan saya belajar berdamai dengan itu sedari sekarang. Gak hanya damai secara mental, persiapan lain pun juga perlu dilakukan. Kami mulai membuka asuransi, terutama untuk asuransi jiwa, sehingga ketika salah satu diantara saya atau istri saya meninggal, plan dan goal untuk anak kami tidak akan terganggu. Lalu asuransi kesehatan, terutama penyakit kritis. Karena kanker ini membuka mata saya bahwa pengobatan itu sangat mahal. Kalau ini terjadi kepada saya, rasanya gak punya uang segitu banyak untuk pengobatan hal itu. Dan yang paling penting adalah bekal warisan. Kalau kita meninggal, hanya ada tiga hal yang akan membantu kita nanti. Doa anak soleh, Ilmu yang diajarkan, dan Amal jariyah. Itu yang selalu jadi motivasi saya ketika menulis blog, membuat video di youtube, mengisi seminar, menjadi mentor, mengurus program-program komunitas dan asosiasi, dan membuat karya yang bisa digunakan dan memberi manfaat kapanpun. Itu adalah investasi saya dalam rangka mempersiapkan bahwa kematian bisa terjadi kapan pun, kepada siapapun, dan tanpa melihat latar belakang.

Huft selesai juga tulisan panjang ini. Diakhir, saya ingin mengucapkan selamat berjuang bagi teman-teman yang sedang melawan penyakitnya atau sedang mendampingi anggota keluarganya. Tetap semangat dan optimis, kamu gak sendiri šŸ™‚

About Adam Ardisasmita (1309 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

2 Comments on Melawan Kanker Leumyosarcoma

  1. Sehat merupakan nikmat Tuhan yang kebanyakan orang tidak bisa mensyukuri….wkwkwkwk

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: