Pentingnya Melatih Kemampuan Kognitif Pada Anak
Di salah satu meeting dengan dengan Putri yang merupakan tim riset Arsa Kids yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi anak, saya mencoba bertanya hal yang sangat fundamental. Beberapa pertanyaan saya adalah anak yang cerdas itu apa sih? Definisi cerdas itu apa? Kemampuan apa yang harus dimiliki anak di usia dini agar bisa sukses jadi anak yang yang cerdas? Saya sendiri sudah coba membaca-baca beberapa teori dan paper tentang kecerdasan anak. Saya juga sempet mendarat di teori multiple intelligence nya Howard Gardner yang dia terbitkan di tahun 1983 dalam buku Frames of Mind : The Theory of Multiple Intelligences. Itu pun yang awalnya saya jadikan pegangan untuk mengembangkan produk-produk Arsa Kids.

Theory Multiple Intelligence menurut Howard Gardner dibagi menjadi 8 area berikut:
- Musical-Rhytmic
- Visual-Spatial
- Verbal-Linguistic
- Logical-mathematical
- Bodily-Kinesthetic
- Interpersonal
- Intrapersonal
- Naturalistic
Namun ketika saya share teori ini ke Putri yang memang lebih paham dunia psikologi, saya baru tahu kalau misalkan teori Howard Gardner ini juga mengalami kritikan yang sangat keras dari dunia psikologi. Salah satu kritik yang paling tajam adalah penggunaan kata “inteligence” yang menurut dunia akademis tidak tepat untuk mendeskripsikan ke-8 item di atas. Akan lebih tepat kalau 8 item di atas disebut dengan ability atau kemampuan. Beberapa praktisi yang mengkriti adalah Robert J. Stenrbenrg yang menyatakan bahwa kriteria dari intelejensi yang dibuat terlalu subjektif dan bisa jadi researcher lain akan keluar dengan kriteria yang berbeda. Lalu juga banyak kritik yang menyampaikan bahwa Gardner tidak menyajikan hasil tes dari teori yang ia sajikan. Hingga pada akhirnya Gardner membuat disclaimer bahwa dia sendiri tidak punya defisinisi yang baku dan klasifikasi lebih ke arah artistic judgement daripada sebuah fakta atau scientific assessment.
Untuk itu, saya mencoba untuk mencari landasan teori yang lebih teruji secara scientific dan juga lebih bisa diterima oleh general reception agar apa yang nanti anak dapatkan memang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Salah satu hal paling fundamental yang harus dimilik oleh anak kalau menurut referensi yang Putri pelajari adalah kemampuan kognitif. Tanpa memiliki bekal kognifit development yang cukup, anak akan sulit untuk bisa survive di masa depan. Kemampuan kognitif ini simpelnya adalah modal untuk bisa belajar. Belajar ini dalam konteks yang luas yah, tidak hanya belajar mata pelajaran di sekolah, tapi lebih kepada kemampuan untuk memecahkan masalah. Akhirnya saya mulai mencoba menggali-gali dan berdiskusi dengan putri tentang apa itu kemampuan kognitif dan gimana kemampuan kognitif pada anak bisa terbantu oleh media game.
Saya ingat banget gak cukup satu kali meeting buat saya bisa grasp the idea of cognitive development. Putri aja kuliah bertahun-tahun dan beratus-ratus jam praktik di klinik sampai punya pemahaman yang ngelotok, gimana saya yang gak punya background sama sekali di dunia psikologi anak. Tapi justru itu tantangannya, gimana caranya kita bisa mengenalkan teori yang sangat tinggi bahasanya ini menjadi sebuah media yang mudah dicerna oleh siapa saja terutama oleh orang tua dan anak.
Saya paling suka dengan analogi gelas karena paling mudah divisualkan untuk menggambarkan kecerdasan anak. Bayangkan tiap anak lahir dengan gelas kosong. Here’s the twist. Gelas yang dibawa anak tidak hanya satu gelas dan tiap gelas ukurannya berbebeda. Jadi misalkan saya lahir membawa 11 gelas kosong, ada gelas yang kapasitas gelasnya 250ml, ada yang 500ml, ada yang 1 liter. Ukuran gelas ini sifatnya genetis, artinya diturunkan dari orang tuanya dan ukurannya tidak bisa diubah-ubah. Nah, tugas kita sebagai orang tua adalah memastikan tiap gelas ini terisi penuh sehingga potensi anak bisa keluar secara maksimal.

Kenapa analogi gelas ini penting? Karena ada beberapa isu urgent yang sering terjadi pada anak dan keluarga. Yang pertama adalah ketika orang tua tidak tahu potensi dari gelas masing-masing anak, bisa jadi orang tua terus-terusan menstimulasi gelas yang ukurannya kecil, sampai tumpah-tumpah, padahal ada gelas lain yang ukurannya lebih besar yang perlu diisi. Akibatnya, anak itu akan merasa “Bodoh” karena tidak berprestasi di area gelas yang kecil itu, padahal sebenernya dia punya potensi lain yang sangat besar. Ini senada dengan kondisi dimana banyak mahasiswa yang merasa salah masuk jurusan dan banyak orang yang tidak bisa berkembang di pekerjaan yang dia lakukan saat ini. Apalagi memang sistem pendidikan kita masih menganut sistem pendidikan yang lama dimana kecerdasan seseorang diukur pakai alat ukur yang tidak universal. Jadi dengan kita lebih cepat mengetahui potensi anak kita, bisa lebih cepat kita memastikan kita mengisi semua gelasnya sampai penuh sesuai kapasitasnya.
Yang kedua, isu yang sering terjadi juga adalah orang tua yang tidak mengisi gelas anak. Dulu, case ini banyak terjadi di kalangan masyarakat miskin dimana mereka tidak menstimulasi anak yang mungkin secara potensi cerdas, tapi karena tidak mendapat stimulasi, gelasnya kosong dan tidak bisa berprestasi. Namun mengingat tekanan ekonomi yang semakin tinggi, kasus ini juga terjadi di berbagai tingkat ekonomi masyarakat di Indonesia. Orang tua yang sangat sibuk bekerja, terkadang luput untuk mengisi gelas anak dengan memberikan stimulasi yang cukup. Akhirnya anak tersebut akan tumbuh menjadi anak yang tidak bisa survive juga karena tidak mendapatkan bekal air yang cukup di dalam gelasnya. Artinya, masyarakat luas, yang sudah memiliki anak terutama, perlu aware bahwa ada tugas mereka untuk menstimulasi dan mengisi gelas-gelas milik anaknya.
Dan yang ketiga, ada kondisi dimana memang secara genetis anak tersebut gelasnya sangat kecil sekali, bahkan cenderung di bawah rata-rata. Kalau sudah terjadi seperti ini, biasanya kondisinya anak tersebut butuh perhatian khusus dan metode parenting serta edukasi yang berbeda. Karena pasti anak tersebut tidak akan bisa jika masuk ke dalam sistem yang seperti anak-anak pada umumnya. Kemampuan kognitif ini merupakan modal dasar manusia untuk bisa bertahan hidup dan berfungsi secara normal. Ketika ada yang tidak terisi atau gelasnya kecil, fokus utama dari orang tua adalah memastikan anak tersebut bisa tetap mandiri dengan tetap terus mengeksplorasi kemampuan-kemampuannya yang lain.

Lalu bagaimana cara kita mengetahui besar dari gelas anak kita dan sudah terisi seberapa banyak? Kita bisa membawa anak kita ke psikolog anak (dari usia 4 tahun minimal) untuk melihat potensi bakatnya. Pernah dengar tes minat bakat? Nah sebenernya tes ini bisa dilakukan gak hanya ketika anak mau masuk kuliah dan milih jurusan. Bahkan semakin cepat kita tahu minat dan bakat anak, akan semakin bagus. Kalau kognitif ini yang kita sebut dengan analogi gelas ini adalah genetis, maka kalau minat, itu dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Sehingga minat itu pasti bisa berubah-ubah sedangkan bakat itu cenderung potensinya akan konstan.
Alat ukur yang biasa digunakan di dunia untuk mengukur intelegensi adalah Wechsler Intelegence Tools. Ini adalah alat yang biasa digunakan untuk mengukur IQ seseorang. Idealnya, 6-12 bulan sekali dimonitor untuk mengetahui perkembangan anak. Sehingga ketika kita tahu ada potensi anak yang belum terstimulasi, kita bisa maksimalkan tumbuh kembang anak. Memang untuk saat ini psikolog anak masih menjadi stigma yah, anak yang dibawa ke psikolog pasti ada masalah. Padalah kita gak harus ada masalah dulu loh untuk ke psikolog. Dan mungkin juga gak semua orang di Indonesia punya previlege untuk ke psikolog. Akhirnya mengetahui pentingnya kemampuan kognitif anak dan banyaknya isu-isu penting terkait perkembangan kemampuan kognitif anak, kami coba merancang sebuah solusi untuk itu dalam bentuk aplikasi. Hampir satu tahun sudah kami mengembangkan aplikasi ini yang sekarang sudah ada di Google Play dan Apple Store yakni Pippo Brain Training.
Kalau pakai tools WPPSI, ada 7 area yang akan distimulasi yakni
- Visual Perception : Kemampuan anak untuk memahami stimulus gambar
- Attention : Kemampuan anak untuk memusatkan perhatian
- Memory : Kemampuan anak untuk menyimpan informasi dan mengekspresikannya
- Language : Kemampuan anak dalam memahami dan mengekspresikan bahasa
- Analysis & Synthesis : Kemampuan dalam menganalisis informasi dan pemecahan masalah
- Motor Planning & Coordination : Kemampuan salam merencanakan dan koordinasi gerakan motorik halus
- General Knowledge : Kemampuan anak dalam menyerap informasi dari lingkungan sekitar

Pippo Brain Training kami rancang untuk membantu orang tua melakukan assessment kemampuan kognitif anak dan di dalamnya juga ada permainan-permainan untuk anak bermain sambil menstimulasi kemampuan kognitif mereka dalam bentuk 11 permainan di dalamnya untuk menstimulasi ke-7 hal di atas. Tentunya di dalamnya terdapat animasi yang menarik untuk anak, feedback audio dan visual yang tepat, unsur-unsur gamifikasi untuk memotivasi anak belajar, hingga fitur untuk mengenalkan anak tentang aturan waktu bermain yang baik. Pippo Brain Training yang saat ini ada di store adalah iterasi awal kita yang tentu masih banyak kekurangan di sana sini. Hopefully ke depan bisa terus kita improve agar hasilnya bisa efektif. Oh ya, dan yang paling, Pippo Brain Training ini tidak akan bisa menggantikan peran psikolog anak untuk bisa menghasilkan assessment yang akurat amupun menggantikan peran orang tua sebagai source utama untuk stimulasi anak. Ini mungkin jadi PR kita juga untuk mengedukasi orang tua agar Pippo Brain Training ini bisa menjadi tools yang efektif untuk melengkapi proses parenting di dalam keluarga.
Terima kasih atas sharing ilmunya. Analogi dengan gelas kosong itu benar2 mengena buat saya.
SukaSuka