Iklim Startup di Amerika dan di Indonesia

gambar diambil dari urbanhorizon.wordpress.com
Baru-baru ini kita mendengar kabar yang mengejutkan. Sebuah startup yang usianya belum genap 2 tahun baru saja dibeli oleh perusahaan raksasa dengan nilai 1 milyar dolar. Instagram, sebuah aplikasi untuk berbagi foto kini telah menjadi milik Facebook. Hanya dalam waktu belasan bulan, CEO Instagram telah menjadi orang yang super kaya. Ini adalah salah satu bukti kejayaan startup di Silicon Valley. Saya ingin sedikit bercerita dari pengalaman teman-teman, mentor, atau senior saya yang telah malang merintang di dunia per”startup”an semenjak dahulu, terutama mereka yang telah mencicipi lingkungan startup di Amerika, tentang iklim startup di Silicon Valley (SV) sana.
Jadi klo di SV, environment pendukung tumbuhnya startup sudah sangat matang. Pemerintah memberikan sokongan, universitas membangun paradigma yang baik, venture capital sangat memberikan peluang, pasar sudah sangat bersahabat, dan startup baru pun bisa dengan mudah mendapatkan segala bentuk fasilitas untuk berkembang. Ketika misalkan saya seorang mahasiswa, ingin membuat startup, yang saya butuhkan adalah ide dan inovasi. Sesuatu yang menjual, menarik, dan belum pernah ada sebelumnya. Inovasi agar bisa menjadi kenyataan membutuhkan sumber daya, baik itu sumber daya uang, sumber daya manusia, dan sebagainya. Untuk itu, startup akan berusaha melakukan fund raising dengan cara mencari investor (atau yang biasa disebut dengan pitching). Di sana, venture capital (investor) sudah sangat menjamur dan bersedia memfasilitasi ide-ide yang brilliant dengan sokongan dana.
Nah, itu tadi adalah kondisi yang ada di Amerika sana. Klo di Indonesia, sayang sekali startup untuk IPO itu sulit, apalagi klo di bidang digital. Satu-satunya perusahaan di bidang IT yang sudah IPO adalah VIVA news. Selain itu belum ada yang bisa IPO karena memang pasar IT di Indonesia (mungkin) dirasa belum kuat saat ini. Tapi bisa saja 3-5 tahun ke depan iklim di Indonesia bisa seperti di SV. Lalu klo untuk akuisisi, rasanya para pelaku bisnis di Indonesia memiliki rasa sayang yang tinggi terhadap perusahaannya dan ada (banyak) yang tidak rela melepaskan perusahaannya begitu saja. Di Indonesia mainframe perusahaan adalah “miliknya dan keturunan2nya”. Jadi ada rasa kepemilikan dan rasa kekeluargaan yang tinggi terhadap perusahaan tersebut. Beda dengan di Amerika yang mentalnya sudah sangat kapitalis. So, mari kita lihat perubahan iklim di Indonesia nanti akan seperti apa. Yang pasti kita harus selalu siap untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Ane masih gk ngeh , kalau startupny close atau tutup resiko dari founderny apa ?
SukaSuka
Maksud pertanyaannya gimana yah?
SukaSuka
bagus mas artikelnya, sesuai di lapangan saya juga mengalami tersendat ngembangin start up ane profesor.id apalagi ane tdk tinggal di kota besar, ud jatuh tertimpa tangga pula. pemerintah nyalahin rakyatnya bilang anak Indo cm nyari investasi, rakyat nyalahin negara karena tidak bisa buat iklim yang baik haha. Tapi apapun itu insyaAllah tetap semangat mas soale namanya juga hobi. kalo ada saran2 buat start up ane monggo mas, ane capek je di tolak sama mahasiswa pas jelasin start up ane ane juga bingung pas nawarin ide pada suka tp pas dikasih barang ga ada saran ga ada kritik ga ada user haha kadang ada bilang iya tp ternyata cuma php T_T kadang cueknya jg tingkat dewa haha sory mas jadi curhat. ๐
SukaSuka
coba baca buku lean startup, pelajari business canvas model, dan perbanyak melakukan validasi agar ide yang dieksekusi sesuai dengan kebutuhan user.
SukaSuka
This information is worth everyone’s attention. Where can I find out more?
SukaSuka