rePost: Antara Ir. Zulhiswan dan Keikhlasan (by Hamida Amalia-IC 08)
Sewaktu saya menunjuk tangan di rapat siang itu, saya merasa saya lah yang memiliki alasan teraneh, mengapa saya izin tidak mengikuti acara himpunan esok malamnya. Saya ragu untuk mengungkapkan pendapat saya. Dengan agak terbata saya berkata, “Saya, ehm, saya harus menengok guru saya yang sakit.”
“Semoga gurunya Midun cepet sembuh,” kata pimpinan rapat, pendek.
***
Seberapa istimewakah guru yang saya maksud? Di sinilah saya akan berkisah.
Perjuangan saya dan lima orang lain bermula pada Sabtu pagi. Kami mendapat kabar bahwa Ir. Zulhiswan, si guru itu, dirawat di RSCM. Berangkatlah kami ke sana dan mendapati bahwa beliau sudah pulang empat hari yang lalu ke rumah. Akhirnya, kami bertolak dari RSCM yang terletak di Jakarta Pusat menuju Serpong, kota di selatan Jakarta, tempat saya dulu mengenyam pendidikan menengah atas. Sesampainya Β di sana, kami mendapat petunjuk bagaimana menuju rumah Pak Zul serta nomor telepon ponselnya. Setelah memberitahu kedatangan kami, bertolaklah kami ke rumahnya.
Wah, ternyata rumah beliau dapat dijangkau dalam waktu minimal satu jam. Akibat hujan, jalan-jalan berlubang yang berjumlah banyak itu menampung air coklat yang membuat kami di mobil berguncang-guncang. Beberapa kali sempat terlontar komentar, “Waduh, Pak Zul dulu ngajar itu penuh perjuangan banget ya,” dengan sedikit rasa sesal, mengapa dulu suka tidak memerhatikan beliau ketika mengajar, hehehe! Angkutan beliau untuk ke sekolah kami adalah motor. Nah, coba bayangkan. Banyak lubang berisi comberan dan motor. Dijamin, baju si bapak, minimal celananya, bakal kotor dan harus mempersiapkan baju ganti. Kami semua geleng-geleng kepala, mungkin berpikir, “Ini guru hebat banget, Banget, BANGET!”
Kami sampai di rumah Pak Zul pukul 16.00. Kejutan bagi kami, si bapak menggunakan kaos angkatan kami. Pembicaraan pun bergulir. Ia berkisah, bagaimana ia merasa syok setelah tahu bahwa ditemukan tumor baru di otaknya setelah operasi bulan Mei lalu. Sepuluh hari ia merasa patah semangat, hingga murid-muridnya datang dan menyadarkannya. Bahwa hidup-mati adalah kehendak Tuhan. Bahwa risau hingga melupakan ibadah bukanlah hal yang benar. Perlahan ia bangkit dan mau menjalani pemeriksaan untuk persiapan operasi kedua. Namun, tim dokter yang menanganinya sekarang terlihat tidak solid, membuat ia ragu untuk menjalani operasi. Ia memutuskan untuk pulang, tiga hari sebelum operasi yang dijadwalkan terlaksana demi mempersiapkan mental.
Cerita yang membuat saya berkaca-kaca adalah cerita tentang kemampuan kognitifnya yang menurun. Saat dirawat di RSCM untuk operasi kedua, ia membeli buku soal-soal untuk kelas 2 hinggga 6 SD. Hasilnya, bahkan ia membutuhkan waktu yang lama hanya untuk menyelesaikan soal 100 – 3 saja. Persamaan linear ia tidak bisa menyelesaikan dan dalil rantai yang dulu begitu lihai ia manipulasi untuk soal tes blok kami, ia selesaikan betul-betul dengan cara yang berantai-rantai. Perih hati ini mendengarnya. Mata saya panas, mengingat kembali usaha beliau membimbing saya hingga saya bisa mengenyam pendidikan di ITB. Pak Zul juga menjadi agak lambat dalam mengetik dan menulis. Kerap SMS-SMS yang datang padanya tidak terbalas. Ia sangat ingin membalas sebenarnya, tapi dengan keterbatasan fisik akhirnya SMS itu tidak terjawab.
Bu Zul yang ikut berbincang dengan kami mengisahkan Pak Zul sewaktu masih sehat dan mengajar di sekolah saya. Suatu waktu, Pak Zul sampai di rumahnya pada waktu maghrib. Tiba-tiba, ia ditelepon dari sekolah bahwa ada anak yang meminta tutorial pada malam hari. Bu Zul berusaha mencegah Pak Zul dengan berkata, “Boleh lah memperhatikan murid, namun perhatikan juga keluarga, Bi.” Namun Pak Zul berdalih, ia akan pulang pada pukul sebelas malam. Berangkatlah ia kembali ke sekolah pada pukul tujuh malam. Ternyata ia pulang pukul 00.00, terkadang pukul 00.30. Istrinya kembali mengingatkan dirinya tentang prioritas dan mengulangi perkataannya kembali. Apa yang terjadi? Pak Zul dengan suara meninggi berkata, “Ikhlas, Mi! Ikhlas!”
“Ya Allah, saya inget banget waktu Abi bilang seperti itu. Masih terngiang-ngiang saya juga,” ujar Bu Zul. Dan Bu Zul merasakan bukti nyata keikhlasan Pak Zul tersebut. Saya ingat, ketika pertama kali Pak Zul divonis menderita tumor otak, dalam empat hari alumni berhasil mengumpulkan dana sebesar seratus juta rupiah untuk operasinya. Saya selalu merinding mengingatnya. Itu merupakan bukti bahwa dedikasi dan kasih sayang seorang guru yang tulus, tidak akan mudah terlupa oleh murid-muridnya. Lalu Bu Zul melanjutkan ceritanya kembali, “Suatu ketika, saya pulang malam dari tempat kerja. Pak Zul harus meminum obat pada pukul 17.30 dan 21.00. Saya bingung sekali, siapa yang akan mengingatkan dan melayani Abi minum obat? Untungnya, ada tiga alumni laki-laki datang berkunjung. Mereka mengingatkan Pak Zul untuk meminum obat dan pulang pada pukul sembilan, setelah memastikan Abi meminum obatnya. Ya Allah, saya merinding sekali. Betul-betul bantuan dari Allah.”
Ah, Pak Zul! Sekali lagi saya bercermin pada dirimu yang ikhlas untuk mengabdi. Doakan saya agar keikhlasanmu bisa dirasakan orang lain lewat tulusnya kerjaku π
Tinggalkan Balasan