My Journal

Baru Bertemu Rakyat Kecil

Siang ini saya naik angkot dari Kantor polisi cihapit (untuk mengurus asuransi motor) menuju dago (untuk main ke kosan teman saya). Di angkot, saya bertemu dengan seorang ibu yang sudah sangat tua (perkiraan sekitar 70 tahunan). Pakaiannya sangat kumal, kulitnya pun sudah sangat keriput. Satu matanya sudah tidak mampu membuka lagi. Benar-benar kondisi yang memprihatinkan. Tidak lama setelah saya duduk di depannya, dia bertanya pada saya “mau ke mana cep?”. Saya pun menjawab itu, kemudian tak lama dia kembali bertanya dan bercerita, atau lebih tepatnya lagi mengeluh tentang kehidupannya. Cara berbicaranya sudah agak tidak jelas, tapi inti percakapan kami seperti ini.

Awalnya sang ibu bercerita tentang tanah yang semakin mahal, dia punya tanah yang dulu dia beli seharga 3 juta, namun (kalau tidak salah tangkap) tanah yang sekarang dihuni oleh keponakanny itu akan digusur dan dia tidak yakin uang ganti ruginya itu akan membuat dia mampu membeli tanah yang baru. Saya tidak menanyakan digusur karena apa atau diganti berapa karena untuk mendengarkan kata-kata dia saja butuh konsentrasi yang sangat tinggi (ditambah keributan di dalam angkot). Kemudian setelah bicara tanah, dia bicara kondisi keuangannya. Dia sangat merasakan kesulitan keuangan, terutama masalah bahan-bahan pokok. Dia sepertinya punya anak karena dia bercerita bahwa dengan uang 20 ribu, dia hanya mampu beli gas dan memberikan anaknya uang jajan (masih bisa menyisihkan untuk uang jajan anaknya, luar biasa). Tapi untuk mendapat 20 ribu itu dia tidak tahu bagaimana caranya. Dulu ketika harga minyak masih murah, dia bisa beli minyak secara eceran dan bisa membeli kebutuhan hidup lainnya. Gas tidak bisa dibeli eceran, dan dia harus memiliki sejumlah uang dulu baru bisa membeli gas. Dia sangat pusing dengan kondisi ekonominya saat ini, dia sudah sangat pasrah dengan krisis yang terjadi sekarang. Belum lagi dia cerita bagian terburuknya. Bagian ketika dia bercerita tentang sang suami yang menafkahi dia. Suatu saat dia melihat sang suami bersama wanita lain, dan suami tersebut memperkanalkan si ibu ini sebagai pacar (bukan istri). Sang suami masih memberi jatah si ibu ini sedikit uang, tapi sebagai wanita, hatinya hancur. Si ibu ini bercerita dia pasrah dan menerima saja walau perasaannya sudah dicabik-cabik. Belum selesai ibu ini berkeluh-kesah tentang kehidupannya, saya sudah harus turun dari angkot dan meinggalkan ibu itu tanpa bisa membantu apa-apa. (karena ucapan ibu itu sangat sulit didengar, mungkin ada informasi yang salah tangkap oleh saya ataupun kurang)

Intinya masih banyak rakyat miskin yang benar-benar kekurangan. Kita seharusnya bersyukur masih bisa menikmati hidup kita. Masih bisa makan enak, masih bisa bermain internet, dan lain-lain. Apakah melihat ini saya menyalahkan pemerintah karena tidak bisa memperbaiki ekonomi Indonesia? Apakah emosi karena kenyataan bahwa kita mengalami surplus di sektor pertanian (terutama beras) tapi masih ada orang-orang kelaparan bisa menyelesaikan permasalahan? Banyak cara yang bisa kita ambil untuk turut memperbaiki kondisi di Indonesai. Apapun jalan yang saya dan teman-teman jalanin sekarang, pastikan itu diniatkan untuk menolong orang-orang seperti ibu tadi.

(gambar dari:http://riolis.files.wordpress.com/2008/04/pengemis1.jpg)

About Adam Ardisasmita (1375 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

Tinggalkan komentar