Menghadapi Badai Kegagalan Dalam Membangun Arsanesia
Kali ini saya dapat reqest dari teman lama saya sejak SD, Arif Irshadi, untuk sharing tentang bagaimana melewati badai kegagalan ketika membangun Arsanesia. Sebenarnya topik kegagalan ini menarik sih, tapi biasanya saya butuh waktu untuk recall pernah gagal apa aja yah. Bukan karena gak pernah atau jarang mengalami kegagalan, tapi karena saking sering dan biasa, jadi kayak udah lupa aja gitu ada kegagalan apa. Tapi don’t worry, di post ini saya berhasil membuat beberapa list kegagalan yang pernah dialami oleh Arsanesia yang menurut saya paling memorable.
Berdasarkan riset yang dilakukan terhadap 156 startup, ditemukan beberapa faktor penyebab sebuah startup itu gagal. Pembunuh nomer satunya adalah kehabisan cash atau gagal fund raising, penyebab keduanya adalah tidak menemukan market need dari produk yang dibuatnya, dan yang ketiga adalah kalah bersaing. Jadi kalau ada dari temen-temen yang mengalami atau merasakan hal tersebut, kamu tidak sendiri. Banyak sekali startup yang harus gulung tikar karena hal-hal tersebut.
Arsanesia dari 2011 hingga kini sudah mengoleksi banyak sekali momen-momen kegagalan. Memang tidak common yah sebuah startup sharing kegagalan, biasanya yang dishare good news semua. Padahal dengan share momen-momen gagal, bisa ngebantu startup-startup baru lainnya untuk memberi insight bahwa membuat startup tidak seindah ucapan manis para motivator bisnis. Dan yang terpenting, bisa memberitahu semua founder bahwa kamu gak sendiri. Semua founder pernah dan sedang mengalami momen berat yang mungkin tidak terungkap saja ke publik.
Oleh karena itu, sebelum saya bagikan tips menghadapi badai kegagalan dalam membangun startup, saya mau share dulu momen-momen berat apa saja yang pernah saya alami selama lebih dari 10 tahun mengembangkan Arsanesia.
Momen-Momen Kegagalan Di Arsanesia
Momen yang paling sering terjadi karena Arsanesia dulu belum memiliki model bisnis yang sustain adalah cashflow mandek dan perusahaan kehabisan runway. Di sini banyak sekali cerita seru ketika menghadapi kondisi tersebut. Ada momen menarik ketika Arsanesia masih sharing kantor dengan perusahaan bernama NoLimit yang merupakan startup satu almamater di informatika ITB. Kita ngontrak satu rumah dimana bagian rumahnya dipakai NoLimit dan Arsanesia pakai bagian garasinya. Kondisinya saat itu NoLimit sudah lebih sustain sedangkan Arsanesia masih hidup dari proyek ke proyek. Namanya proyekan, kadang dapet client toxic, dapet client yang bayarnya telat, dll. Pernah suatu ketika kita kehabisan uang sampai mau bayar bagian listrik dan internet kita ke NoLimit aja nunggak beberapa bulan. Pas udah mau ditagih sama NoLimit, saya inget banget itu invoice belum cair. Terus untungnya, tiba-tiba kita dapet undangan untuk mengisi talkshow di sebuah stasiun berita. Kita sebelumnya pernah juga tuh ngisi talkshow di TV dan tahu kalau setiap narasumber akan dapat uang transport. Klo diinget-inget, nominalnya gak seberapa banget. Tapi di kala itu, kita langsung nanya ke produsernya boleh kirim berapa narasumber maksimal? Jawabnya tiga orang. Kita kirim tiga orang biar ongkos transportnya dikali tiga dan dengan uang itu kita bisa bayar listrik dan internet. Kayaknya nominalnya waktu itu gak sampai 3 juta, tapi itu pun kita gak punya uangnya.
Momen kehabisan uang ini sering banget Arsanesia alamin. Dan dimomen kayak gini, biasanya saya, para founder, dan terkadang level manager yang tahan badan. Biasa mereka bisa gajinya dipotong dulu atau bahkan ada yang gak nerima gaji dulu. Pernah juga saya yang harus menalangi gaji. Atau kalau paceklik dalam waktu lama, tapi kita tahu kalau uangnya pasti akan cair, saya pernah juga softloan ke teman startup yang lain. Saya ingat pernah ada uang invoice yang tiap kita tagih bilangnya masih diproses terus. Lalu ada tetangga startup di kantor kami, Radyalabs, yang berbaik hati mau memberikan softloan (pinjaman tanpa bunga) kepada kami agar bisa survive. Klo gak salah waktu itu nominal-nya sekitar 20jt. Untungya akhirnya clientnya bayar dan kami bisa kembalikan uang tersebut.
Terus cerita lain, dan ini masih terkait cashflow, adalah momen dimana sebenernya cashflow Arsanesia udah mulai sehat. Kita udah sanggup nyewa kontrakan itu sendirian. NoLimit pindah ke kontrakan yang lebih gede, Arsanesia di kontrakan itu sendiri. Kita bayar listrik, internet, dan sewa semuanya sendiri, tidak lagi dibagi dua. Ini adalah momen-momen berjayanya Arsanesia karena kita dapet banyak sekali client dan project dari Nokia. Dulu Nokia sangat mensupport ekosistem startup dengan memberikan berbagai funding dan project untuk dikerjakan oleh startup-startup binaannya. Kita punya forecast yang sehat juga karena itu. Tapi tiba-tiba Nokia diakusisi oleh Microsoft dan program-programnya mendadak hilang. Ini pelajaran yang teramat berarti juga bagi kita untuk tidak invest di satu keranjang. Karena ketika tiba-tiba hilang begini, ya sudah hilang juga cashflow kita. Akhirnya buat gaji dan operasional kantor langsung lenyap. Di sini kita dibantu oleh Mico dari Konsep, kawan lama juga di komunitas Nokia yang punya bisnis IT yang besar. Kita diberikan ruang kantor gratis di kantornya, bahkan Mico ikut invest di Arsanesia untuk membantu operasional kita dulu.
Momen-momen kegagalan yang terjadi di masa lalu itu membuat kita semakin aware dan waspada tentang mempunyai cashflow yang sehat dari lebih dari satu stream penghasilan. Hal ini yang membuat ketika ada satu project besar yang kita forecast akan jadi 80% revenue Arsanesia, lalu tiba-tiba di setengah jalan, projectnya dibatalkan, Arsanesia bisa pivot dengan mudah ke project lain dan tetap sustain. Dan semakin ke sini, rasanya semakin jarang mengalami kondisi kritis seperti jaman dulu. Dan yang mungkin orang banyak nanya, perasaan ketika menghadapi berbagai badai-badai itu buat saya biasa-biasa saja. Kondisi yang penuh tekanan itu tidak membuat saya stress atau trauma sehingga tidak berani membuat keputusan atau mengambil resiko lagi dikemudian hari. Memang jadi lebih hati-hati, tapi tidak dalam konteks yang secara mental terdistrupsi.
Tapi memang ada satu titik yang menurut saya adalah satu-satunya titik dimana saya mengalami pressure dan stress yang luar biasa berat sekali. Ini faktornya memang cukup banyak sih, bukan hanya karena faktor kerjaan saja. Seperti biasa sih issue nya adalah cash yang semakin menipis. Saya ingat sekali bentar lagi idul fitri sehingga harus nyiapin THR juga. Dan di momen ini, saya juga sembari mendampingi ibu saya yang sedang menjalani pengobatan kanker. Ini pun momen dimana saya sedang fund raising ke VC. Bagi para founder yang pernah ngalamin fund raising, tentu paham bentul pressure yang dihadapi ketika pitching, mempersiapkan dokumen, dan lain-lain. Apalagi jika fund raising tanpa bahan bakar. Ini bisa dibilang the hardest moment yang saya alami dalam hidup saya.
Tips Menghadapi Badai Kegagalan
Tips nomer satu yang saya bisa share dan ini bener-bener yang membedakan kualitas founder adalah mindset yang benar. Orang membuat perusahaan itu berbagai macam alasan dan latar belakangnya. Dan selama sepuluh tahun ini, baik kolega maupun startup yang saya mentorin, saya bisa melihat perbedaan mindset di tiap foundernya. Dan perbedaan mindset itu yang menghasilkan startup-startup dengan mindset yang benar saat ini semakin berkembang dan startup dengan mindset yang tidak benar sekarang sudah tutup.
Mindset kayak apa sih yang dimaksud? Mindset untuk optimis, siap gagal, dan fokus terhadap tujuan akhirnya. Mindset yang benar ini akan terlihat dari keinginan untuk belajar, sikap ketika menghadapi kegagalan, positivity dan attitude ketika ngobrol, dan passion atau enthusiasm ketika menceritakan mimpinya yang besar. Makanya terkadang saya bisa dapet feeling apakah sebuah startup ini bakal sukses atau gagal hanya dari satu sesi pertemuan perkenalan saja dengan foundernya.
Gimana cara membangun mindset yang bagus? Banyak belajar. Bisa dari baca buku, ikut webinar, cari mentor, dan lain-lain. Saya inget banget momen saya pertama kali mau mulai mendirikan Arsanesia, yang saya lakukan adalah roadshow ke startup-startup yg ada di bandung. Literally saya datengin satu-satu mulai dari Gits, Starql, Radyalabs, DyCode, NoLimit, sampai ke perusahaan game seperti Agate yang saat itu baru 40 orang (sekarang udah 300 orang). Ada satu peristiwa yang membekas banget pas saya main ke kantornya Agate dan diterima sama Arief CEO nya. Di situ pertanyaan saya seputar bagaimana cara membuat perusahaan game yang sukses, bagaimana cara menghasilkan uang dari game, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Di situ saya langsung distop dan di drill dengan pertanyaan balik. Kenapa saya mau buat perusahaan game, kenapa saya mau bikin game, kenapa saya mau cari uang dari game, dan pertanyaan-pertanyaan mengapa lainnya. Saya lalu dikasih referensi sebuah video TED dan buku berjudul Start with why yang itu langsung mengubah mindset saya.
Tips nomer dua itu sebenernya bisa kebaca dari kisah-kisah kegagalan di atas. Momen di saat Arsanesia terpuruk, di situ ada lingkungan pertemanan yang membantu Arsanesia bangkit. Jadi tips berikutnya adalah membangun network yang genuine. Tidak harus sampai terpuruk, ketika cashflow menipis, dengan network yang genuine itu saya bisa minta proyekan untuk bahan bakar cash perusahaan dengan cukup mudah. Beberapa kali Arsanesia dikasih proyek besar dari lingkaran pertemanan.
Kok bisa punya network begitu? Kita harus bangun integritas, tulus ketika membangun relasi, dan juga perlu membangun personal branding yang baik. Tanpa ketulusan untuk membangun relasi yang baik, intinya klo kita orangnya songong gitu yah, network yang dibangun tidak akan genuine. Ketika saya as personal membantu orang lain, literally niatnya ngebantu tanpa harap kembali. Kadang ada orang yang ingin ngebantu, ingin kontribusi, atau ingin kenalan dengan mindset transaksional. Kalau begitu orang juga gak akan mau ngebantu kita.
Tips praktikal untuk mendapatkan network adalah dengan aktif berkontribusi di komunitas. Dulu saya rajin bikinin meetup untuk komunitas IF Assoc yang bikin saya punya jejaring dengan startup-startup dari informatika ITB. Terus di komunitas game dev bandung dan AGI banyak sekali program volunteer yang saya lakukan yang itu ngebangun trust di kalangan gamedev hingga partner-partner pemerintah di AGI. Tidak jarang saya dapet tawaran proyek atau reference dari network-network tersebut. Dan mereka pun trust karena melihat effort kita di komunitas juga tulus. Integrity itu emang harus ditunjukan dengan perbuatan, gak bisa hanya dengan kata-kata saja.
Dan tips terakhir dari saya adalah build your support system carefully and put your team first. Support system ini penting banget karena founder atau CEO adalah pekerjaan yang terasa sepi dan sendiri. Kadang ketika ada masalah, kita tidak bisa dengan mudah menceritakan itu ke crew karena gak ingin menambah beban masalah mereka. Untuk itu environment kita, baik itu dengan co-founder maupun dengan keluarga, harus bisa mendukung dengan baik. Itu bukan hal yang mudah sih. Kebetulan saya bertemu co-founder yang bisa mengisi kekurangan saya dengan baik dan bisa jadi teman diskusi yang baik. Lalu ada previledge juga dari keluarga dan istri yang mau menerima kondisi saya, apalagi dulu pas awal-awal gaji jauh di bawah UMR, itu pun sering gak gajian karena prioritasin buat crew, tapi gak pernah ada penentangan dari istri dan keluarga. Lingkungan ini yang ngebuat saya bisa tenang dan pede untuk gagal dan bangkit lagi.
Itulah beberapa cerita kegagalan dan tips dalam menghadapi kegagal yang bisa saya share di tulisan kali ini. Semoga bisa ngebantu semua orang yang sedang mengalami fase gagal dalam hidupnya. Saya believe semakin berat masalah yang sedang kita lalui, kalau kita bisa melewatinya, reward di belakangnya akan semakin besar. Saya juga percaya dengan momen-momen magic yang selalu datang ketika kita sebagai manusia selalu tulus untuk membantu orang lain. Saya benar-benar merasakan magic itu datang baik secara langsung, maupun tak langsung, akibat dari hal baik yang kita lakukan ke orang lain.
Tinggalkan Balasan