Surviving Pandemi Covid
Perhari ini kita udah melewati 2 bulan bersama situasi pandemi covid. Di tulisan saya sebelumnya saya udah banyak share tentang dampak ekonomi dan finansial yang dirasakan. Dan melihat tren dari covid di Indonesia yang sampai saat ini belum juga menunjukan kondisi yang menurun, rasanya kita bisa memprediksi bahwa situasi kehidupan seperti sekarang ini akan kita alami untuk jangka waktu yang lebih lama lagi. Gak tahu yah seberapa lama ekonomi kita bisa bertahan jika terus-terusan tidak bisa berputar karena harus PSBB. Tapi yang jelas kita sebagai masyarakat harus segera beradaptasi dengan kondisi ini agar bisa bertahan hidup.
Di post kali ini saya mau berbagi pengalaman dan pesan selama menghadapi covid ini. Siapa tahu ada yang mengalami hal yang sama atau bisa berbagi tips untuk kita sama-sama bisa melewati kondisi ini dengan lebih lancar lagi.
Saya termasuk yang siaga satu terhadap covid ini dari awal. Ketika bulan Januari di Cina udah mulai ada lockdown, saya udah mulai nyetok masker cukup untuk kami sekeluarga. Terutama kala itu saya sering meeting di luar sehingga saya perlu memproteksi diri dengan baik karena di kala itu saya udah yakin klo virus itu pasti masuk Indonesia dan mungkin aja sekarang juga udah ada di Indonesia. Di Indonesia kan baru mulai rame di bulan Maret tuh. Di akhir Februari, ketika virusnya sudah menjangkit negara lain dengan sangat cepat, di Indonesia masih kampanye “jangan takut corona dan berwisatalah di Indonesia”, saya udah nyetok bahan makanan untuk kalau misalkan Indonesia harus lockdown total kayak di Wuhan. Jadi dari sisi persiapan dan kewaspadaan, saya dan keluarga termasuk yang cukup hati-hati.
Lalu baru deh pas ada kasus positif diumumkan di Indonesia, semua orang panik. Masyarakat menanti dengan deg-degan kira-kira Indonesia bakal pakai pendekatan penanganan covid kayak negara mana nih? Toko-toko langsung dihoarding oleh masyarakat yang panic buying. Harga masker melonjak, hand sanitiser ludes, dan finansial market langsung terjun bebas. Kita sebagai warna negara yang baik gak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti anjuran pemerintah. Dan akhirnya munculah instruksi untuk PSBB dimana banyak sektor di Indonesia yang harus berhenti beroperasi.
Saya pribadi memang sudah lama bekerja remote dan dari rumah. Kantor Arsanesia ada di Bandung. Seluruh tim kerja dari Bandung di hari-hari normal, saya memang standby di Jakarta. Peran saya lebih banyak ke eksternal seperti networking, meeting, dan marketing. Setiap hari, jam 10 pagi, kami di kantor mengadakan rapat harian yang kami sebut daily scrum. Kami di kantor pakai software namanya Discord, jadi anak-anak di kantor rapat di meeting room, sambil nyalain Discord, dan saya mengikuti secara remote. Ketika Scrum, masing-masing share apa yang kemarin sudah di kerjakan, apakah ada bottle neck, dan hari ini ingin melakukan apa. Setelah itu, biasanya COO kami akan mereadjust task harian (kalau dibutuhkan) sesuai dengan prioritas dan deadline dari berbagai task yang ada. Hal ini membuat walaupun pada akhirnya kami satu tim akan remote, proses sinkronisasi kerjaan tidak akan sulit karena tiap hari akan ada daily scrum.
Mungkin yang agak sulit ketika seluruh tim bekerja secara remote adalah proses brainstorming atau diskusi yang sifatnya strategical. Biasanya hal yang dibutuhkan untuk bisa brainstorm dan mengonsep strategi agar bisa lancar adalah papan tulis, post it, dan proses tek-tokan ide secara real time. Untungnya problem itu terpecahkan ketika kami berkenalan dengan software namanya Miro. Dengan software itu, proses brainstorming secara remote menjadi hal yang sangat feasible untuk dilakukan sehingga Work From Home harusnya bukan lagi menjadi kendala dari sisi tools.
Buat saya, tantangan terbesar dari work from home ini adalah multitasking. Kalau biasanya, saya work from home, tapi anak sekolah sehingga saya bisa efektif bekerja di jam kerja. Kalau sekarang, sekolah pun ditutup sehingga anak harus belajar dari rumah. Mungkin bagi yang belum punya anak atau anaknya sudah besar, tidak begitu kerasa yah. Tapi bagi saya yang anaknya masih balita dan butuh atensi penuh, juggling kerja sambil mengasuh anak bukanlah hal yang mudah. Ditambah lagi karena aktivitas semua di rumah, beberes rumah menjadi tambahan task yang cukup berat.
Sebulan pertama, saya dan istri cukup kewalahan untuk menjaga ritme. Anak saya pun tentunya masih sulit beradaptasi. Selama ini yang kalau ada orang tuanya di rumah artinya weekend atau libur sehingga bisa seharian diajak main, kali ini orang tuanya dua-duanya ada di rumah seharian tapi tidak bisa diajak main. Biasanya, saya kerja di ruang kerja saya, istri kerja di kamar, dan anak saya akan nempel ke istri saya membuat istri susah untuk bekerja. Ketika istri harus ada meeting atau pekerjaan yang tidak bisa diganggu, saya jagain anak di kamar dan istri yang pindah ke kamar kerja saya. Tapi itu sangat tidak efektif dan membuat kami berdua kelelahan.
Akhirnya kami coba ganti strategi. Alih-alih kerja di dua ruangan yang berbeda, saya dan istri kerja di ruang kerja saya dan anak saya ikut di sana juga. Sehingga dalam kondisi istri gak available untuk menanggapi anak, saya yang menanggapi, dan sebaliknya. Cuma ruang kerja saya kan gak gede, jadi untuk bertiga di ruang itu pasti empet-empetan. Itu pun ketika salah satu harus ada video call, terpaksa musti ngungsi dulu. Jadi memang idealnya kita butuh ruang yang lebih besar untuk memfasilitasi jam kerja yang ideal agak semua bisa produktif.
Satu lagi yang membuat WFH ini cukup berat adalah hilangnya waktu untuk mengisi tenaga. Bekerja itu menghabiskan tenaga. Mengasuh anak juga sama, menghabiskan tenaga. Biasanya kalau lagi hari yang normal, ketika kita kerja dari pagi sampai siang dan menghabiskan cukup banyak energi, di jam makan siang kita bisa beristirahat dan re-charge energi kita. Makan siang lah, sambil nonton lah, atau main game sebentar, atau quick nap, apapun untuk mengembalikan stamina kita agar kuat menghadapi sisa hari kerja. Ketika jam kerja selesai pun, kita ada jeda waktu entah karena lagi commute atau belum jemput anak, untuk bersantai, me time, dan menyiapkan energi untuk nanti beraktivitas dengan anak setelah jam kerja berakhir.
Kalau sekarang, pagi kita sudah mulai kerja. Ketika jam istirahat, anak tentu akan nagih waktu main karena dari pagi sampai siang gak ada yang ngajak dia main. Efeknya, kita-nya sendiri belum sempet ngisi tenaga. Lalu lanjut kerja lagi sampai sore. Begitu selesai jam kerja, langsung mengasuh anak lagi untuk mengajak bermain, sampai akhirnya waktunya tidur. Jadinya tentu harus dilakukan manajemen waktu yang lebih baik lagi dan suami istri harus planning hari itu dengan baik.
Yang kami lakukan, pertama kami pindahkan ruang kerja kami ke ruang tidur kami yang ukurannya jauh lebih besar. Hal ini membuat anak bisa bermain bebas sehingga frekuensi butuh diperhatikan selama jam kerja bisa sedikit berkurang. Lalu hampir tiap awal minggu atau malamnya sebelum hari kerja, kami sharing jadwal meeting kami. Diusahakan untuk tidak tabrakan sehingga ketika meeting, yang satu bisa fokus ngejagain anak agar gak mengganggu meeting orang tuanya. Kami bahkan sampai beli background photo untuk menutup latar belakang komputer yang isinya “kapal pecah” dan sekaligus memberi tahu anak klo lagi pakai layar itu, artinya gak bisa diajak ngobrol dulu.
Terkait Kapal Pecah pun kami udahlah selama seharian itu gak peduli seberantakan apa rumahnya, yang penting anak kami bisa berkegiatan dengan senang. Baru nanti menjelang mau tidur, salah satu dari kami bersih-bersih rumah yang satu lagi ngajak main anak. Tiap pagi kami coba cari aktivitas baru apa yang bisa anak lakukan. Kebetulan banyak activity book yang bisa diprint di internet, jadi kami print kan untuk nanti anak mainkan. Penggunaan screen time selama masa WFH ini pun menjadi di luar idealisme kami. Nonton Youtube dan main game di iPad menjadi aktivitas rutin yang anak kami lakukan. Walopun kami masih terus memantau konten apa yang dikonsumsi dengan sangat tegas, tapi durasi bermain anak di depan layar menejadi meningkat drastis. Untungnya, ketika kedua orang tuanya available, anak masih memilih main bersama orang tuanya dibandingkan main di layar. Efek positif dari screen time ini juga literasi digital anak saya naik drastis, kemampuan bahasa, terutama bahasa inggrisnya meningkat pesat gara-gara youtube.
Lalu hal lain yang kami lakukan adalah memaksimalkan waktu anak tidur untuk mengisi tenaga. Dengan ruang kerja pindah ke kamar tidur kami, sekarang ruang kerja jadi kamar tidur anak. Saya cuma ngomporin dikit ke anak tentang punya kamar sendiri, untungnya dia excited banget. Kami belikan lampu warna-warni, stiker princess, dan proses dekorasi kamar barunya anak kami ikut terlibat sehingga memiliki perasaan yang lebih mudah untuk menerima kamarnya. Awalnya agak sangsi dia bisa di kamar sendiri, soalnya baru aja akhir tahun lalu kami mencoba mengajarkan anak untuk tidur di kasur sendiri (tapi masih di kamar yang sama dengan orang tuanya) dan itu prosesnya panjang dan tidak mudah. Kami siapkan stiker 30 biji untuk dikasih ke anak kami kalau dia berhasil tidur di kasur sendiri. Kalau berhasil akan dikasih mainan yang dia mau. Proses itupun on off, kadang berhasil kadang tergoda untuk tidur di kasur orang tuanya. Begitu sudah 30 pun, masih ada momen gak mau di kasur sendiri. Nah ini apalagi di kamar sendiri. Tapi surprisingly, tidur di kamar sendiri ini mudah banget transisinya. Tiap malem klo waktunya tidur, kami temani dia tidur di kamarnya sendiri sambil dibacain buku sebelumnya. Lalu sepanjang malam, dia gak pindah ke kamar kami. Tapi memang belakangan lagi agak pilek sehingga sering kebangun. Kebangun pun manggil kami untuk menemani, bukan yang pindah ke kamar kami. Untuk mengatasi itu, kami pun beli baby monitor dan kalau anak kebangun, kami tinggal temani via suara dari ruang yang berbeda. Nah klo untuk yang ini, masih perlu adaptasi emang. Karena beberapa kali maunya kita samperin ke kamar dan temenin sampai bobo. Jadilah kami pakai cara stiker lagi yang akan kami kasih klo bisa tidur lagi tanpa perlu kami temani.
Dengan anak tidur di kamar sendiri, di jam istirahat, kami berdua bisa tidur lebih nyenyak. Lalu hal yang paling kami suka lakukan untuk refreshing adalah main game. Istri saya biasa main the sims, atau main game di HP, atau nonton Netflix, saya main PS atau main Nintendo Switch. Ini jadi salah satu medium bagi kami berdua untuk bisa dapat me time dan mencoba me-recharge energi.
Satu lagi yang rutin kami lakukan selama covid ini adalah setiap weekend, kami nginep di rumah eyang. Ini bisa membantu anak kami refreshing juga karena lebih banyak orang yang bisa diajak interaksi juga sekaligus ganti suasana biar gak di rumah melulu. Lalu biasanya, tiap hari Senin, yang merupakan hari paling padat bagi kami berdua, anak kami menghabiskan harinya di rumah eyang dan saya dan istri kerja dari rumah kami. Ini sangat membantu kami untuk meringankan beban kerja karena seharian itu bisa fokus menyelesaikan banyak task tanpa perlu multi tasking dengan mengasuh anak dan membersihkan rumah.
Itu beberapa problem dan solusi yang saya coba lakukan untuk mengoptimalkan kondisi di saat pandemi ini baik dari peran saya dalam keluarga maupun secara profesional. Mungkin yang saya masih belum kebayang adalah apabila kondisi ini berlangsung untuk jangka waktu lama, sementara sebentar lagi anak saya mulai masuk ke pendidikan formal dimana harus ada proses belajar yang terstruktur tiap harinya. Jika masih harus PSBB, artinya kelas-kelas akan dilakukan online dan aktivitas akan dilakukan di rumah dengan difasilitasi oleh orang tuanya. Bagaimana bisa memfasilitasi anak belajar di rumah, di jam kerja, ketika kedua orang tuanya juga sama-sama bekerja. Ini yang mungkin nanti akan kami coba pikirkan pendekatan terbaiknya seperti apa.
Oh ya, mungkin beberapa hal lain yang belum saya mention adalah delivery service baik itu makanan maupun belanja jadi meningkat drastis. Untuk belanja bulanan, kebetulan ada supermarket yang selalu sepi di pagi hari sehingga kami masih bisa belanja yang agak banyak di situ. Terus sekarang kita udah semakin CSan sama abang JNE karena TIAP HARI PASTI ADA PAKET dan udah punya no Whatsap abang-abang yang jualan roti untuk nganter ke rumah.
Paling itu sekilas cerita saya menghadapi korona ini dari sisi kehidupan sehari-hari. Kita gak tahu yah kapan pandemi ini akan berakhir dan seperti apa kehidupan kita nanti pasca pandemi ini berakhir. Semoga kita bisa terus beradaptasi dan menjaga diri kita baik secar fisik maupun secara mental untuk melewati situsi ini.
Tinggalkan Balasan