Mengubah Culture Dalam Perusahaan

Gambar diambil dari spherion.com
Saya pernah mengambil sebuah mata kuliah di Sistem dan Teknologi Informasi ITB yang membahas tingkat kematangan dari suatu perusahaan. Dari sekian banyak lapisan, core dari perusahaan yang paling sulit untuk dibentuk dan paling memiliki impact dari sebuah perusahaan adalah culture dalam perusahaan. Kami di kelas dibagi menjadi beberapa tim dan melakukan studi kasus ke berbagai perusahaan (saya waktu itu studi kasus ke blitzmegaplex bertemu dengan foundernya, Pak David Hilman) dan melakukan penilaian tentang tingkat kematangan perusahannya. Setelah itu, kami masing-masing tim sharing dan presentasi di kelas tentang hasil temuan kami. Ternyata, memang dari perusahaan, tingkat maturity level yang paling sulit di bangun adalah masalah culture.
Culture perusahaan sendiri apa sih? Banyak yah parameternya di tabel yang harus kami isi ketika kami datang ke perusahaan. Tapi singkatnya, culture perusahaan ini adalah berbagai faktor yang mempengaruhi bagaimana seluruh elemen yang ada di dalam perusahaan berperilaku, berkarya, bertindak, dan lain sebagainya. Mungkin gampangnya dengan contoh yah. Culture di militer terkenal keras, tegas, dan disiplin. Hal ini di bangun dari culture sehari-harinya yang penuh dengan aturan, penuh dengan ketegasan, dan hal-hal tersebut ditanamkan dalam-dalam pada tiap anggotanya. Culture di perusahaan perbankan itu tertib, rapih, profesional karena berurusan dengan uang dalam jumlah banyak sehingga segalanya harus tertarur dan detil, berurusan dengan costumer sehingga harus selalu profesional dan memberi, dan sebagainya. Kalau di industri kreatif, lebih bebas, santai, dan nuansanya fun karena harus selalu menggenerate ide, harus mengeluarkan solusi-solusi out of the box, dan lainnya. Jadi culture di perusahaan akan sangat menentukan apakah itu akan membangun atau mematikan perusahaan.
Jika kita membangun perusahaan dari nol, dari belum ada siapa-siapa, culture itu masih sangat mudah untuk didefinisikan. Tapi jika perusahaan itu sudah berjalan, apalagi sudah memiliki jumlah karyawan yang sangat banyak, culture itu sulit sekali untuk dibentuk. Dalam beberapa pertemuan saya dengan pemimpin-pemimpin perusahaan besar, mereka menguak salah satu kunci untuk merubah culture adalah dengan simbol. Apa maksudnya? Saya ada tiga contoh kasus simbol yang cukup menarik.
Dahulu, samsung terkenal dengan produknya yang banyak cacat dan gampang rusak (ini jauh sebelum era smartphone, masih jaman2nya TV, kulkas, dll). Hal ini sudah mendarah daging di setiap pabrik dimana para karyawannya bekerja tidak optimal. Ini tentu menjadi culture yang tidak sehat dan sangat sulit untuk dihentikan. Harus dibangun culture baru, era baru, yang menunjukan bahwa saat ini kita mau memperbaiki kualitas produk kita. Tentu dengan kata-kata saja atau dengan poster saja tidak akan cukup untuk bisa menanamkan semangat baru tersebut. Akhirnya, seluruh pegawainya dikumpulkan di pabrik terbesarnya, pimpinan Samsung datang. Ia membawa sebuah produk Samsung teranyar dan termahal, sebuah televisi, di depan sekian banyak karyawannya, dia membanting televisi tersebut dan berkata mulai saat ini, Samsung tidak membuat produk cacat lagi. Momen simbolis tersebut berhasil menjadi titik balik perubahaan culture di perusahaan tersebut.
Kalau dari dalam negeri, ada kisah di Garuda Indonesia yang disampaikan oleh Direktur Pemasaran dan Penjualan Garuda Indonesia. Sebagai BUMN kelas dunia, Garuda memiliki culture yang sangat profesional, agak kaku, dan sulit mengadaptasi inovasi baru. Tentu hal ini menjadi kendala ketika maskapai lain muncul dengan berbagai inovasi dan terobosan barunya. CEO garuda menginginkan sebuah culture yang lebih santai, lebih adaptif, dan lebih casual karena dianggap hal tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing garuda. Untuk itu, suatu ketika CEOnya mengumpulkan karyawan2nya. Saat itu dia mengenakan pakaian seperti para stafnya yang lain, jas rapih, celana bahan rapih, dan setelah profesional lainnya. Lalu, dia kemudian melepas jas dan celana bahannya, di dalamnya sudah ada celana jeans dan baju santai, dan dia berkata, mulai hari ini kita casual.
Dua cerita tadi merupakan contoh yang sepertinya sangat momentual dan sedikit radikal yah, tapi itulah contoh simbol. Sesuatu yang akan dikenang setiap orang bahwa ini ada perubahaan. Perubahaan tersebut ditandakan dengan suatu event dan disuasanakan dengan berbagai elemen lainnya. Terakhir ada contoh pembentukan culture yang simbolis tapi tidak radikal, yakni cerita dari Pak Andreas Raharso, Direktur RnD HayGroup. Sebagai konsultan kelas dunia, tentu produktivitas sangat penting. Ia membangun suasana kerja dengan cara dirinya adalah simbol itu sendiri. Ia menetapkan aturan jam kerja adalah 9-6, di kantor bebas ngapain aja, tapi milestone tercapai. Tentu pertama dia mencontohkan dengan diri sendiri yang selalu 9-6, untuk menunjukan bahwa kerja itu harus efisien. Kalau harus lembur, berarti kerja kita tidak efisien. Lalu di kantor, ia tidak akan menegur orang yang main game, tidur, atau apapun di range jam 9-6 itu, tapi ia akan menegur dengan tegas mereka yang telat. Secara tidak sadar, lama-kelamaan terbentuk culture tepat waktu, baik itu dari segi ke kantor maupun milestone, dan efisiensi produktivitas kerja dengan cara di waktu kerja tersebut, berbagai cara dan metode yang paling cocok dengan masing-masing orang/kasus bisa diselesaikan.
Merubah culture itu butuh waktu yang panjang dan/atau biaya yang sangat besar. Untuk itu, merupakan PR yang sangat besar bagi para pengusaha untuk bisa membangun dan membentuk culture yang sesuai dengan karakteristik perusahaan mumpung masih kecil. Tantangan paling besar sebenernya bukan hanya di membangun, membentuk, atau merubah culture, tapi juga mempertahankan agar bisa konsisten dan terjaga culture tersebut.
Great. Thanks for sharing
SukaSuka