Baru kali ini sepak bola tanah air mampu menyedot ratusan juta rakyat Indonesia. Belum pernah sepanjang sejarah animo masyarakat terhadap sepak bola Indonesia sebesar ini. Tentu saja hal ini dipengaruhi oleh kemenangan timnas Indonesia di ajang penyisihan piala AFF dengan hasil yang gemilang. Permainan timnas Indonesia semakin baik dan terus menunjukan performa yang cantik. Alhasil timnas mampu lolos ke babak final dan berhadapan dengan Malaysia.

Ternyata efek dari bersinarnya penamilan timnas Indonesia bukan hanya menarik perhatian masyarakat, tapi juga menyedot gerombolan politisi untuk ikut bergantung di bawah popularitas timnas. Media massa pun semakin kalap dan gila untuk mengekspos para pemain timnas. Tidak hanya mengekspos pribadi dan prestasinya, namun media menggali hingga kehidupan pribadi dari pemain tersebut. Alhasil para pemain timnas sudah layaknya seorang selebritis. Tentu hal ini semakin membuat para politisi mengeluarkan air liurnya untuk turut memasang badan di barisan atlit kebanggaan bangsa kita.

Beginilah jadinya ketika PSSI dipegang oleh kalangan politisi, bukan kalangan olahragawan. Tentu akan ada “kepentingan” yang membuat fokus dan perhatian timnas teralih dari goal awalnya. Pelatih timnas sempat mengeluhkan “kepentingan” tersebut yang beberapa kali mengganggu jadwal latihan anak asuhnya. Menjelang laga final di Malaysia, pemain timnas kita beberapa kali diganggu oleh urusan politik yang seharusnya waktunya bisa dipakai untuk berlatih atau memulihkan kebugaran. Jamuan dan semakin dimanjanya pemain timnas oleh politikus  secara tidak langsung meningkatkan beban mentalnya.

Semoga sepak bola Indonesia tidak dijadikan alat politik. Sepak bola adalah murni hasil dari kerja keras, sportifitas, dan kegembiraan dalam memainkan si bundar. Selama sepak bola Indonesia masih dipolitisasi, maka mustahil sepak bola Indonesia bisa berkembang.