My Journal

Era pemerintahan Soeharto; Saya Diculik Dan Dibungkam

(segala cerita di sini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan baik dari tokoh, cerita, dan lain-lain.. anggap saja kebetulan. Karena ini hanya ungkapan hati saja. Penuh bumbu dan modifikasi)

Juli 1989, (scene 1: latar belakang saya berteriak)

Kala itu pemerintah bersama menteri-menterinya sedang menangani suatu proyek berskala internasional yang melibatkan uang rakyat yang sangat besar. Proyek mega besar yang dijanjikan dapat memakmurkan bangsa ini hanya dalam tempo satu tahun. Proyek ini berkisar di bidang pangan, energi, dan pendidikan. Namun dalam perjalanannya, negeri kami ditipu habis-habisan oleh pihak pemodal dan negara lain. Alhasil negeri kami mengalami ketidakstabilan politik, ekonomi, dan sosial. Di tengah kecarutmarutan tersebut, pemimpin Indonesia saat itu, bapak Soeharto, menjanjikan sebuah perbaikan, penanganan, dan solusi. Saat itulah rakyat jelata yang tidak memiliki kekuatan apa-apa menurut dan menunggu datangnya realisasi dari perkataan bapak Soeharto. Rakyat menunggu dengan harap akan datangnya penyelesaian dalam masalah ini. Namun pada kenyataannya, sang presiden asik dengan singgasananya. Dia sibuk berkunjung ke negara A, negara B, mengerjakan urusan dengan perkumpulan A, perkumpulan B. Rakyat semakin geram dan cemas, menanti datangnya sinar cerah yang bapak pemimpin negara janjikan. Saya sebagai salah satu menteri yang terlibat di proyek ini bersama menteri2 yang lain berusaha mendiskusikan masalah ini dalam sebuah pertemuan. Pertemuan yang alot melawan ego dan sifat kekanakan dari pemerintah pusat. Dia yang tidak mau disalahkan akibat kelalaiannya, dia yang tidak mau dituding karena tindakan yang tidak jelas tersebut. Pak Harto menuding menteri komunikasi, menuding menteri informasi, dan menuding banyak pihak lainnya akibat kelalaian ini. Dipertemuan itu beliau dengan tegas menyatakan bahwa komunikasi dan informasi harus dibenahi. “ini salah mereka, saya bekerja, saya perduli, tapi media masa aja tidak tahu”, beliau berteriak sambil menunjuk-nunjuk saya. Saya pun terdiam menerima tekanan itu. Saya hanya mengingatkan pentingnya rakyat untuk tahu apa kelanjutan dari mimpi2 yang Bapak janjikan waktu itu, sisanya terserah bapak. Tapi ingat, rakyat bisa menilai tiap gerakan bapak. Jadi saya mewanti-wanti kepada bapak presiden untuk terus berkomunikasi dan bersentuhan dengan rakyat. Namun sayang, hal tersebut lagi-lagi tinggal wacana. Tidak ada wujud nyata dari wacana tersebut. Pertemuan demi pertemuan pun menghasilkan hal yang sama. Pemerintah hanya minta maaf, menuding, dan hari esoknya diam, diam, dan diam. Rakyat bingung, rakyat kecewa, rakyat emosi, rakyat menangis.

Januari 1990, (scende 2: saya maju dan berteriak)

Setelah setengah tahun berada dalam ketidakpastian dan kesibukan, nampaknya pemerintah makin tidak jelas. Rakyat dibiarkan mengawang tanpa kejelasan, tanpa berita, dan tanpa pengarahan. Rakyat hanya melongo menonton petinggi istana sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing, menggeram menyaksikan kata-kata mereka yang hanya menjadi janji lalu terbang tertiup angin. Melihat superpower mereka menggerakan dunia lain sambil menginjak-injak kepercayaan rakyat. Saya pun tak tahan dengan ini, saya memutuskan untuk membelot. Saya tidak percaya lagi dengan sekedar percakapan, sekedar diskusi, apalagi wacana. Ini saatnya harus ada pergerakan, harus tercipta suatu semangat pergerakan. Revolusi! Harus dilakukan revolusi melihat rakyat mulai kelaparan, mati kedinginan, dan tertidur di balik kardus. Saya pun meletakan pangkat saya dan mengganti pakaian mahal saya dan menyatu dengan rakyat. Saya mengumpulkan opini rakyat, mengumpulkan suara rakyat, dan berusaha menggerakan mereka untuk bisa membela hak mereka. Membela pertanggung jawaban dari pemerintah. Saya berteriak. Saya sekarang berpihak kepada rakyat, berpihak sebagai oposisi, berdemo di depan istana, berteriak di depan monas, berorasi di bunderan HI. Wartawan meliput aksi kami para rakyat yang sudah muak dengan ketidakpastian ini. PBB dan negara-negara asing juga sudah melirik masalah ini. Saya menekan pemerintah sekeras-kerasnya agar bisa segera melaksanakan kebijakan yang telah dijanjikannya. Saya bersuara vokal dan berdiri di barisan paling depan. Saya siap ditembak dari depan dan siap ditikam dari belakang. Tapi saya tidak takut, karena saya tidak akan mati selama rakyat masih terlantar.

April 1990, (scene 3: saya diculik dan dibungkam)

Nampaknya pemerintah sudah geram melihat aksi saya, apalagi mengetahui saya dulu salah satu menteri mereka. Tindakan demo terhadap pemerintah, orasi di jalan, penggalangan simpati dan suara, dan tindakan lainnya sudah dianggap personal oleh pak harto. Beliau menganggap saya meludah di mukanya. Hari ini tepat setelah diadakan pertemuan antara rakyat yang sudah mengamuk dengan pemerintah yang tidak mau disalahkan, rakyat kembali diberi janji oleh pemerintah. Rakyat kembali dibuai kata-kata Pak Harto akan tindakan nyatanya. Namun rakyat ada yang percaya ada yang tidak. Ada yang sudah antipati ada yang masih perduli. Yang pasti kali ini pemerintah menawarkan uang sebagai peredam amarah rakyat. Uang sebesar 3 Trilyun sebagai ongkos agar rakyat tidak memberontak. Agar rakyat memercayai perkataan pemerintah. Saya pun tidak masalah, 3 Trilyun jumlah yang pantas untuk menghidupi jelata. Namun tampaknya mereka tidak hanya meredam rakyat dengan uangnya, tapi pak harto dan kronco-kronconya berusaha meredam segala bentuk perlawanan rakyatย  terhadap pemerintah lainnya. Salah satunya dengan membungkam saya. Saya sebagai orang yang paling vokal, orang yang paling depan dalam barisan, diculik dan dikeroyok. Di kerumanan algojo, ajudan, dan menteri-menterinya, pak Harto menuding-nuding saya. Saya berusaha memberikan fakta, tapi mata hatinya sudah buta karena emosi. Beliau tidak mau diktritik, tidak mau menerima oposisi atau perlawanan, beliaulah yang paling benar. Saya sendiri dan mereka beramai-ramai. Mereka menyuruh saya diam, menyuruh saya tidak menggerakan masa, dan menyuruh saya menghentikan tindakan saya. Mereka terus membela diri dan menyalahkan saya. Para gerombolan ini cukup pintar, memisahkan saya dari masa agar bisa membungkam saya. Oke, saya pun sudah terikat, sudah babak belur, dan tidak berdaya. Saya hanya bisa berkata iya. Saya akan diam, saya akan bungkam, dan saya akan mundur. Tapi tidak akan selamanya. Jika setitik saja saya temukan kejanggalan atau penyimpangan lagi, saya akan langsung berteriak. Jika ada sedikit saja ada pelanggaran atau ingkar, saya akan langsung menghancurkan istana dan melakukan kudeta. Jika pemerintah kali ini mampu berbuat benar, saya akan diam dan menurut, untuk rakyat. Tapi jika ada gerakan yang mengindikasikan kelalaian dari Pak Harto. Siap-siap, kali ini rakyat tidak akan terbendung lagi. Untuk terakhir kalinya saya mencoba memberikan kepercayaan kepada Pak harto kembali.

semoga saya tidak diburu karena membuat cerita versi saya ini sendiri

About Adam Ardisasmita (1309 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

4 Comments on Era pemerintahan Soeharto; Saya Diculik Dan Dibungkam

  1. Apakah tokoh Saya itu anda?

    Suka

  2. Hahaha.. ini kan hanya fiktif belaka
    kasian bener kalo saya sampe bener2 digebukin

    Suka

  3. eeh kirain beneran

    Suka

  4. hahaha…
    tanggal dan tahunnya aja udah lama betul itu
    yang penting bukan ceritanya sih, tapi inti sarinya

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: