My Journal

Tiga Alasan Game Developer Lokal Pindah Dari Mobile ke PC

Market mobile merupakan market yang tumbuh dengan sangat pesat. Dari industri game yang nilai marketnya 300 miliar dollar ini, majority datang dari platform mobile. Bahkan di Indonesia sendiri, paltform mobile memberikan sumbangsih sampai 75% dari revenue game Indonesia yang setara dengan 27 Triliun rupiah. Jadi market mobile bisa dibilang merupakan market terbesar untuk industri game saat ini.

Data from Newzoo

Semenjak pertengahan 2022, saya cukup intens berkomunikasi dan merancang program bersama Google. Google, terutama dari sisi mobile devices, bisa dibilang yang paling dominan di Indonesia. Lebih dari 80% pengguna smartphone di Indonesia menggunakan Android dari Google. Oleh karena itu, Google sangat ingin berperan lebih besar lagi dalam hal membangun ekosistem game di Indonesia. Tahun lalu, ada beberapa program yang kita lakukan bersama. Ada program penguatan komunitas lokal bernama Indie Game Group Indonesia, ada program pengembangan talenta melalui pelatihan UI/UX, project management, dan data science melalui beasiswa dari Google, ada support Google untuk IGDX 2022, dan yang terakhir ada program pelatihan dan sertifikasi Unity dari Google untuk Game Programmer, Game Artist, dan generalis Game Developer. Saya juga beberapa kali diinvite ke acara Google seperti Google4Indonesia di Jakarta dan Graduation Ceremony Google Indie Game Accelerator di Singapore. Tahun 2022 bisa dibilang Google memberikan kontribusi yang sangat banyak untuk ekosistem game di Indonesia.

Menariknya, di tahun yang sama, kita melihat cukup banyak studio game lokal yang dulu membuat game untuk platform mobile kini mengembangkan game untuk PC. Gak usah jauh-jauh, Arsanesia yang selama ini fokus mengembangkan game hanya untuk mobile, di tahun 2022 kemarin memulai Project Unseek yang platform utamanya adalah PC. Lalu ada beberapa studio game lokal juga yang kita lihat mulai masuk ke PC seperti Gambir Studio yang terakhir sukses dengan game Selera Nusantara di mobile, sekarang diversifikasi ke PC melalui game Knight vs Giant. Studio veteran asal Jogja, Wisageni, yang juga populer dengan game-game mobile nya, sekarang memiliki game KISS yang platformnya di Steam. Kemudian beberapa mentee saya di IGDX juga portfolio mereka banyak yang di mobile dan kini sedang menggarap PC game seperti Ginvo, Eternal Dreams, Grinsmile, Satriver, dan lain-lain.

Saya coba melakukan interview singkat dengan mereka yang sukses di mobile seperti Gambir dan Own Games, lalu juga menanyakan temen-temen yang saat ini pindah dari dari platform mobile ke PC. Tujuannya agar tidak bias karena Arsanesia juga punya alasannya sendiri kenapa sekarang fokus ke game PC instead of game mobile yang selama ini jadi ekspertis kita. Dari hasil interview singkat tersebut, berikut adalah tiga alasan mengapa game developer lokal pivot atau menjadikan platform PC sebagai tujuan utama mereka.

1. Business Model

Alasan pertama adalah dari sisi bisnis model. Sebagian besar game developer di Indonesia adalah gamer. Dan game-game yang majority mereka mainkan adalah game premium, entah itu di PC atau di Console. Mindset yang terbentuk adalah player akan membeli game yang dia suka, memainkannya selama 2 jam, 10 jam, mungkin 40 jam. Lalu selesai. Mereka akan mencari game lain yang ingin mereka beli dan mainkan. Model bisnis premium ini yang mengisi library sebagian besar game developer di Indonesia saat ini.

Model bisnis ini juga terbilang lebih pendek siklusnya. Bagi game developer, yang mereka perlu lakukan adalah membuat game yang bagus dan ada demandnya, lalu mendistribusikannya di platform seperti Steam, lalu player akan membayar game tersebut. Jika ada 1.000 pembeli atau players, maka ada 1.000 sales. Hitungannya lebih mudah. Sedangkan untuk bisnis model di mobile sangat berbeda.

Pemain yang bermain di mobile, memiliki mental state atau behaviour yang berbeda dengan ketika ingin bermain di PC atau Console. Pemain game di mobile tidak berharap game itu berbayar. Ekspektasi mereka game di mobile itu gratis. Lalu jika durasi orang bermain di PC atau Console bisa 1-2 jam, orang bermain di mobile itu biasanya durasi sekali mainnya pendek. Misal untuk casual game mungkin hanya 10-15 menit per sesi, untuk mid core game bisa 30-45 menit persesi. Ketika game kita bagus, maka besoknya dia akan main game kita lagi (retention). Dan ketika user kita sudah sangat suka dengan game kita, baru mereka mau membayar (conversion). Atau jika tidak membayar, mereka rela nonton iklan untuk mendapatkan konten yang mereka inginkan.

Dengan tipikal user yang seperti itu, di platform mobile, jika kita memiliki 1.000 players, maka tidak setara dengan 1.000 sales. Dari 1.000 players itu, berapa persen yang masih bertahan (retention) di hari berikutnya (day 1), seminggu (day 7), atau sebulan (day 30). Dari player yang bertahan, rata-rata harian pemain (DAU), berapa persen yang membayar (conversion rate) dan berapa rata-rata purchase yang dilakukan per-pemain (ARPPU). Hal ini membuat proses desain sebuah game di mobile amat sangat jauh berbeda dengan ketika mendesain game untuk PC. Di mobile, kita bisa bilang game itu adalah produk yang harus terus dimaintain (live-ops) karena kita harus memastikan 1.000 players tersebut pada akhirnya akan membeli game kita.

Apakah model bisnis freemium ini buruk sehingga banyak developer yang pergi meninggalkannya? Jawabannya tidak. Ada dua keuntungan model bisnis ini. Yang pertama, bagi player yang memang tidak akan membeli game premium karena mereka adalah casual gamer, mereka prefer model bisnis ini karena tidak butuh investment di depan. Mereka bisa mencoba sebuah game, dan klo game itu cocok untuk mereka, pada akhirnya mereka akan loyal kepada game tersebut. Yang kedua, bagi developer cost untuk memberikan service atau live-ops terhadap satu game tentu akan lebih murah daripada cost untuk membuat game baru. Sehingga dari sisi efisiensi dan masa hidup umur suatu game akan jadi lebih panjang. Itu mengapa revenue dari Ubisoft meningkat drastis ketika mereka sudah mulai menerapkan Game-As-A-Service di judul-judul game mereka. Karena dari sisi bisnis akan lebih efisien untuk memperpanjang usia sebuah game.

Lalu kenapa kok di Indonesia banyak yang tidak mau membuat game freemium di mobile? Mungkin jawabannya lebih ke tidak bisa instead of tidak mau. Bagi studio game lokal yang memang passionnya membuat game freemium dan tahu caranya, pasti mereka akan tetap membuat game untuk mobile seperti Game5Mobile dengan Happy Glass nya ataupun Own Games dengan Tahu Bulatnya. Tapi pemang ilmu terkait “sukses di mobile” ini tidak banyak tersedia jika dibandingkan ilmu untuk sukses di premium. Dan mengingat perbedaan bisnis modelnya yang cukup jauh antara PC dengan Mobile, jika developer lokal kita lebih familiar dengan game-game PC, tentu tidak mudah bagi mereka untuk begitu saja switch ke mobile.

2. Market Visibility

Alasan kedua adalah market visibility. Dulu untuk bisa masuk ke PC melalui Steam, kita harus melalui Greenlight Steam. Sehingga tidak semua orang bisa membuat game PC. Untuk bisa membuat game Console pun syaratnya sangat ketat. Kita harus menjadi partner dulu, lalu mendapatkan developer kit dulu, lalu ada proses QA yang panjang, baru bisa masuk ke Console. Sedangkan Mobile memberikan demokratisasi bagi game developer untuk membuat dan merilis game nya tanpa ada syarat-syarat yang sulit. Ini menjadikan jumlah game yang di rilis di mobile, semenjak era App Store dan Google Play, amat sangat jauh lebih banyak dibandingkan game yang dirilis di PC ataupun Console.

Tak hanya itu, melihat data secara makro market mobile tumbuh dengan sangat pesat. Potensi pertumbuhan ke depannya pun akan jauh lebih tinggi lagi mengingat masih banyak daerah yang belum terjangkau smartphone dan internet. Hal ini membuat banyak sekali perusahaan besar yang melakukan investasi skala besar untuk masuk ke market mobile. Sehingga big player yang ada di mobile pun semakin banyak.

Satu lagi isu terkait visibility adalah behaviour dari player di mobile. Berbeda dengan PC player yang memiliki storage 1TB, mobile user paling hanya punya storage 128GB. Itu pun harus sharing dengan video, photo, sosial media, dan lain-lain. Sehingga storage yang tersisa untuk game jadi jauh lebih minim lagi. User di mobile akan sangat sensitif dengan game apa yang ingin dia download. Misal ada game genre X yang dia suka, maka dia akan memainkan game tersebut terus-terusan selama game tersebut masih live. Berbeda dengan di PC yang jika kita sudah tamat game genre X, maka kita akan cari game lain dengan genre X untuk kita mainkan.

Tiga poin di atas membuat visibility game kita kepada user menjadi sangat minim. Market nya sangat saturated, banyak pemain raksasa yang mendominasi, dan membuat jangan kan untuk bisa punya retenstion dan conversion yang bagus, untuk bisa dapat download yang bagus saja jadi sulit. Itu mengapa di mobile industri ada yang namanya harga untuk mendapatkan satu user (user acquisition). Sehingga otak seorang game developer itu tidak hanya harus berpikir untuk membuat game yang bagus dan menghasilkan, tapi juga memiliki harga akusisi yang murah. Rumusnya adalah LTV harus lebih besar dari UA. Sudah mana memiliki LTV yang bagus saja sulit, ini harus punya tingkat marketability yang tinggi juga. Saya ingat cerita seorang teman yang sukses membuat game mobile. Proses produksi mereka adalah pertama mereka akan membuat prototype game yang mereka ujikan ke 1000 players. Dari situ mereka akan ukur metriksnya. Apakah day 1 nya lebih dari 50% contohnya. Lalu mereka akan uji virabilitas dari game nya. Mereka akan test melakukan user akusisi dengan budget 1.000 USD misalnya. Jadi dari prototype itu, mereka akan liat klo game nya bagus tapi cost UA nya mahal, game nya akan di drop. Mereka akan cari ide lain yang bisa game nya bagus dan UA nya kecil.

Banyak dari studio game di Indonesia yang belum memiliki sense dari sisi bisnis dan marketing. Bagaimana melakukan early validation, bagaimana mendapatkan UA yang kecil, bagaimana membangun komunitas, dan lain sebagainya. Di PC, ada banyak sekali publisher game PC yang bisa dijadikan partner kerja sama untuk melakukan pemasaran dan mendapatkan market. Tapi di Mobile, jauh lebih sedikit dan sulit. Dan ini kita masuk ke alasan ketiga.

3. Funding

Menurut saya, poin 1 terkait bisnis model dan poin 2 terkait market visibility itu hanya isu teknikal. Jika Developer lokal memiliki knowledge dan resource nya, saya rasa mereka akan sukses juga di mobile. Tapi yang sulit adalah poin ketiga ini, yakni funding. Ini merupakan isu paling krusial dan kunci dari bottle neck kesuksesan game lokal di platform mobile. Saya yakin sekali, jika developer lokal ini diberikan funding dan runway yang cukup, maka cepat atau lambat mereka pasti akan bisa sukses dari berbagai trial and failure yang dilakukan. Mau bikin game baik di mobile maupun di PC pasti butuh biaya. Dan faktor pembiayaan ini yang menurut saya saat ini masih jadi kendala.

Indonesia belum memiliki gov grant untuk game seperti di negara-negara lain contohnya Jerman yang baru saja menaikan budget grant tahunan mereka dari 25 billion Euro menjadi 50 Billion. Atau UK yang punya grant khusus untuk mahasiswa yang ingin memulai karir membuat game. Opsi pendanaan di Indonesia untuk membuat game amat sangat minim sekali. Sebagian besar masih harus mengeluarkan budget dari dompet sendiri atau perusahaannya menabung dengan mengerjakan outsourcing project untuk someday profitnya dipakai untuk mendanai gamenya.

Selain grant dan investment, ada satu lagi model funding yang cukup common di Industri game yakni publishing deal. Publishing deal merupakan kerja sama antara pengembang game dengan penerbit game dimana biasanya bentuk perjanjiannya adalah publisher akan memberikan budget bagi developer untuk mengembangkan game yang nanti revenue dari game nya akan dibagi. Cuma sayangnya, kesempatan deal publishing bagi platform mobile nampak lebih sulit.

Saya pernah melakukan pitching ke publisher untuk game mobile (Summer Town) dan untuk game PC (Project Unseek). Ada satu nature yang menurut saya amat sangat berbeda antara publisher mobile dangan PC. Setiap saya bertemu publisher mobile, yang mereka tanyakan adalah bagaimana metrix retentionnya? bagaimana conversionnya? Ekspektasi mobile publisher adalah game nya sudah jadi, at least vertical slice nya, dan sudah punya angka yang bagus, baru mereka mau publish. Ini jauh berbeda dengan game PC. Dengan hanya deck dan prototype, saya bisa mendapatkan interest untuk publishing yang amat sangat jauh lebih positif daripada game mobile. Hal ini pun diamini oleh banyak developer lokal di Indonesia yang mendapatkan akses ke publisher global melalui program IGDX business maupun Gamescom dan Tokyo Game Show. Bahkan ada yang bisa dapet deal publishing untuk porting dari game mobile mereka ke PC. Ini sesuatu yang saya juga agak bingung kenapa di platform PC, semudah itu untuk mendapatkan deal. Tapi yang jelas tanpa adanya funding, sangat sulit untuk game developer mau buat game untuk platform apapun.

Kesimpulan

Secara data, market mobile memang tumbuh jauh lebih pesat daripada market PC. Sangat logis jika secara bisnis, harusnya mobile adalah tujuan utama bagi developer, apalagi developer yang negaranya besar di market mobile juga. Tapi tantangan dari sisi adaptasi bisnis model, situasi market yang semakin saturated, dan funding yang sulit didapat membuat game developer di Indonesia sulit untuk bersaing di market mobile, baik di dalam maupun luar negeri. Jika ingin developer di Indonesia agar bisa mendesain game yang bisa sukses di market mobile, support pemasaran agar game yang dibuat bisa sampai ke tangan player, dan akses ke funding yang lebih besar lagi.

About Adam Ardisasmita (1309 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: