Menyelesaikan Masalah Birokrasi di Indonesia
Birokrasi di Indonesia itu memang terkenal sangat rumit dan berbelit-belit. Saya beberapakali berhubungan dengan bagian pajak, imigrasi, bagian pencatatan sipil, hingga yang terbaru ini ketika mengurus form A5 untuk pindah tempat suara pemilihan presiden. Prinsip yang biasa dikenal di birokrasi di Indonesia ini adalah kalau bisa sulit, kenapa harus dipermudah. Sering sekali saya merasakan dateng ke pintu A, lalu dilempar harus mengurus dulu berbagai hal di pintu B, lalu ke pintu C, dan lain sebagainya yang mana itu akan memakan waktu yang panjang dan proses yang jauh lebih sulit. Itu mengapa calo bertebaran di sana-sini, korupsi merajalela di berbagai sisi, dan banyak hal lainnya.
Saya coba ceritakan beberapa contoh kasus yang saya alami ketika mencoba berurusan dengan birokrasi di Indonesia ini. Jadi ketika saya mencoba mengurus form A5, di lembar sosialisasi yang saya pelajari disebutkan bahwa syarat untuk pindah hanya dua, yang pertama terdaftar namanya sebagai daftar pemilih tetap dengan cara mengecek di situs KPU dan membawa fotokopi KTP lalu diserahkan ke kantor KPU tedekat. Itu menurut saya adalah contoh sistem yang mempermudah seseorang untuk bisa memilih. Namun pada kenyataannya, ketika saya mencoba ke kantor kecamatan X (saya tidak mau sebut lokasi), saya diminta untuk meminta surat keterangan domisili dulu ke Pak RT dan RW, lalu diminta untuk mengonfirmasi bahwa saya akan pindah suara ke kecamatan tempat saya tinggal, baru bisa diberikan informasi TPS tempat kita mencoblos. Itu ada tambahan dua step yang menurut saya mengada-ada dan mempersulit. Dilain waktu, saya coba ke kecamatan Y, di sini kondisinya sama persis seperti apa yang disosialisasikan, yakni hanya butuh fotokopi KTP dan mereka minta scan-an bukti nama kita ada sebagai DPT. Sebenernya scan-an ini gak perlu soalnya rekan yang saya tahu hanya diketikan NIK-nya di komputer di kantor KPU, lalu serahkan fotokopi KTP lalu beres, tapi saya bisa memaklumi itu mengingat ada banyak sekali yang modelnya dirapel memasukan banyak KTP sekaligus. Mungkin ini untuk memudahkan petugasnya.
Contoh kasus lain adalah mengurus pajak, baik itu pajak perusahaan atau pajak kendaraan bermotor. Dalam proses mengurus pajak itu, satu-satunya cara untuk saya bisa membayarkan pajak untuk perusahaan (maupun pajak pegawai) adalah dengan ke bank. Lalu satu-satunya cara untuk melaporkan hasil pembayaran pajak itu ke kantor pajak adalah dengan cara datang ke kantor pajak. Harusnya proses-proses itu bisa jauh dipermudah dengan cara penggunakan sistem informasi online yang memudahkan kita untuk membayar dan melaporkan pajak. Aneh bukan, kita sudah sebagai warga negara yang baik ingin membayar, tapi prosesnya masih saja dipersulit. Wajar kalau banyak orang yang akhirnya malas mengurus hal tersebut dan memilih menggunakan jasa lainnya yang tidak resmi. Itu baru sedikit saja contoh birokrasi Indonesia yang berbelit, rumit, dan menyulitkan kita.
Satu-satunya cara untuk bisa membenahi hal itu adalah di pemimpinnya. Salah satu hasil diskusi saya dengan pengurus KPU di kecamatan Y, masalah terbesar itu datangnya dari atasan. Ketika ada masalah dengan sistem yang beribet, itu adalah efek dari perancangan sistem yang tidak baik dari atas. Lalu yang kena komplain dan efek dari kesalahan sistem itu adalah mereka yang bertugas di front line bertemu dengan warga. Kemudian ketika ada simpang siur informasi yang beredar di masyarakat, itu efek dari bagian sosialisasi yang tidak serius dan baik dalam menginformasikannya sehingga ketika ada masyarakat yang tidak tahu tahapannya dan salah dalam melakukan berbagai tata cara, mereka jadi harus melakukan berbagai step lebih panjang, dan yang akan disalahkan adalah petugas di bawah lagi. Saya kasihan dengan para PNS baik yang ingin membantu masyarakat tapi aturan, kebijakan, dan arahan dari atasannya membuat semua itu tidak bisa terjadi.
Sebaliknya, jika atasannya benar, maka otomatis orang yang tidak benar di bawah akan bisa diarahkan dan diatur dengan baik. Saya ambil contoh Ridwan Kamil, di bandung kami bisa dengan mudah melaporkan berbagai macam keluhan langsung ke dinas pemerintah kota melalui twitter. Iya, twitter! Jika ada jalan bolong, pengemis, atau berbagai macam pelanggaran dan keluhan lainnya, tinggal twitpic aja, mention ke akun dinas terkait, maka akan direspon oleh mereka. Saya pernah coba mention untuk melaporkan ada lampu lalu lintas yang mati, sorenya sudah hidup lagi. Saya belum coba sih kalau untuk datang ke tempat pencatatan sipil apakah prosesnya sudah lebih baik. Tapi kalau di Jakarta, Jokowi dan Ahok berhasil menyulap dinas pencatatan sipil menjadi setaraf dengan pelayanan di Bank. Teman saya yang tinggal di Jakarta mengatakan semenjak Jokowi Ahok memegang amanah, proses pengurusan berbagai macam hal di kantor-kantor pemerintahan menjadi lebih cepat dan mudah. Tak hanya itu, pelayanannya pun ramah serta fasilitasnya nyaman.
Kita butuh pemimpin yang baik, yang benar-benar baik dan peduli terhadap rakyatnya, jika ingin membenahi masalah birokrasi di Indonesia. Tak hanya itu, kita juga butuh mereka yang cerdas dan melek teknologi, terutama teknologi IT agar bisa memberikan solusi terbaik bagi masyarakatnya untuk menyediakan sistem yang memudahkan berbagai proses pelayanan. Kemudian kita juga butuh pemimpin yang konsisten untuk memonitor perubahan yang sudah dimplementasikan karena untuk mengubah sebuah kultur birokrasi di lembaga yang besar itu tidaklah mudah. Salah satu kelemahan kita itu adalah konsistensi di pengasawan dan maintenance. Tanggal 9 Juli nanti kita akan memilih presiden, pastikan presiden yang kita pilih memiliki kriteria yang mampu membenahi masalah birokrasi di Indonesia. Tak cukup presiden, jajaran menteri pun tidak bisa kalau diisi oleh orang yang tidak jelas latar belakangnya, harus orang yang kredibel dan terbukti mumpuni di bidangnya.
Terimakasih informasinya, cukup untuk memberikan pemahaman saya.
SukaSuka