My Journal

Budaya Bertanya

Fenomena yang saat ini ada dan sudah mengakar di Indonesia adalah “mereka yang bisa menjawab pertanyaanlah yang cerdas”. Hal ini sangat lumrah terjadi karena semenjak dahulu kita di drill untuk bisa menjawab pertanyaan, mulai dari penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Namun semenjak adanya kalkulator, kebutuhan untuk menghapal semakin berkurang. Einstein pernah berkata bahwa ia tidak ingin menggunakan otaknya untuk menghapal, tapi ia gunakan otaknya untuk berpikir. Henry Ford juga pernah menjalani persidangan karena ada yang menuntutnya sebagai orang bodoh, penuntutnya mempertanyakan kemampuan intelektual Henry Ford, tapi Henry Ford berkata “buat apa dia menghapalkan sesuatu yang jawabannya bisa dia temukan hanya dengan waktu 5 menit dalam sekali telpon”. Sekarang ini sumber jawaban sudah banyak. Google hampir bisa memberikan kita jawaban atas segala pertanyaan. Justru tantangannya adalah bagaimana kita memberikan pertanyaan yang tepat.

Bertanya itu harus dibiasakan dan dipelajari. Memang terkesan aneh, tapi pada kenyataannya memang bertanya itu sulit. Karena untuk bisa bertanya, berarti kita harus mengetahui apa yang kita tanyakan. Kita harus mengetahui permasalahan dari hal yang dipertanyakan. Bahkan segi tersulitnya adalah menyusun kalimat tanya yang baik dan terstruktur. Satu hal yang menurut saya adalah klutur yang buruk di Indonesia adalah, bertanya merupakan sebuah aib karena jika bertanya dianggap bodoh atau tidak tahu. Lalu dari kecil, keinginan atau inisatif seorang anak untuk bertanya selalu ditekan. Baik guru, orang tua, atauapun lingkungan secara tidak sadar selalu tidak memberi kesempatan atau sering menjatuhkan pertanyaan seorang anak. Lalu orang tua atau guru sering kali merasa jika tidak mampu menjawab pertanyaan anaknya, akan merasa diremehkan. Bukan hanya itu, ada juga tekanan dari teman-temannya yang menganggap penanya adalah orang yang sok jago dan cuma menghabiskan waktu saja.

Sebenarnya tidak ada pertanyaan bodoh, tidak ada pertanyaan yang salah. Pada kelas Keamanan Informasi, seorang dosen memberikan materi tentang budaya bertanya ini lalu memberikan simulasi untuk bertanya. Sang dosen menunjuk mahasiswa secara random untuk menanyakan apa saja. Baik itu berhubungan dengan materi kuliah ataupun tidak. Dan ketika ada yang bertanya, ternyata pertanyaan tersebut ingin juga ditanyakan oleh mahasiswa yang lain namun tidak ada yang berani menanyakannya karena takut terlihat bodoh atau tidak penting. Ternyata memang tidak ada pertanyaan yang bodoh, jelek, sia-sia, ataupun sebuah aib. Yang diperlukan hanyalah keberanian untuk menanyakan apa yang mengganggu di pikirannya. Hal ini yang perlu kita latih dan kita biasakan baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, atau dalam keseharian agar anak-anak Indonesia memiliki kecerdasan yang baik dengan memiliki kemampuan serta keberanian untuk bertanya.

About Adam Ardisasmita (1309 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

1 Trackback / Pingback

  1. Memperluas Cakrawala Dengan Pertukaran Budaya | Ardisaz

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: