Bahasa yang Halus Untuk Orang Timur
Sebagai orang “Timur”, rasa “gak-enakan” menjadi hal yang lumrah. Berbeda dengan orang “Barat” yang dengan tegas bisa menyatakan benar itu benar dan salah itu salah. Oleh karena itu, bentuk larangan dan himbauan terhadap aturan yang berada di masyarakat pun harus dibuat sehalus mungkin.
Contoh pertamanya adalah di toko CD/Kaset atau Departement Store. Hampir setiap barangnya diberi sebuah sensor yang digunakan untuk mencegah pencurian. Namun di ujung gerbang, terdapat sebuah banner yang isinya adalah “jika alarm berbunyi, mintalah petugas kami untuk membantu”. Hal ini untuk menyamarkan tudingan atau tuduhan atas situasi ketika alarm tersebut berbunyi. Alih-alih berkata “Kami sangat tidak mentolerir pencurian”, kalimat samar tersebut digunakan untuk membuat pengunjung tetap merasa aman dan nyaman.
Contoh berikutnya adalah mengenai rokok. Saat ini tren yang terjadi bukanlah stiker besar bertuliskan “dilarang merokok”, tapi justru diarahkan “jika ingin merokok, gunakanlah ruang yang telah kami sediakan”. Kalimat konfrontasi diubah menjadi kalimat persuasif. Padahal esensi yang ingin disampaikan sama, “tolong jangan merokok di sini, kami terganggu bila anda merokok”, tapi konteksnya diubah menjadi lebih lembut dan halus. Karena budaya kita tidak sanggup bertahan menerima penolakan atau kritik.
Apakah hal tersebut adalah hal yang bagus atau tidak, saya tidak ingin menyimpulkan. Tapi inilah budaya, setiap wilayah memiliki demografi yang berbeda-beda yang juga mempengaruhi antropologi dan sosiologi masyarakatnya. Tinggal bagaimana kita mengimplementasi quote “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Tinggalkan Balasan