My Journal

Gejolak Layanan Gojek Yang Merombak Kultur Dengan Teknologi

Beberapa hari ini ramai sekali perbincangan terkait layanan ojek yang bernama Gojek. Jika ada yang baru pernah dengar, Gojek adalah penyedia jasa ojek yang terintegrasi dengan smartphone kita. Kita bisa memanggil ojek hanya dengan sentuhan jari, bisa melakukan pembayaran juga via aplikasi, bahkan Gojek bisa digunakan untuk mengirim barang atau delivery makanan.

Rasanya tidak ada yang salah yah dengan fitur Gojek. Lalu mengapa jadi ramai diperbincangkan? Kenapa ada tentangan dari pelaku industri ojek konvensional terkait kehadiran Gojek?

Sisi Kultur Budaya Dari Ojek Tradisional

jokowi-tidak-pakai-helm

Jika dilihat dari unsur kultur di Indonesia, tidak ada yang salah dengan ojek konvensional. Pangkalan ojek itu dibangun dengan asas kekeluargaan dalam bentuk paguyuban. Ojek konvensional bukan berarti tidak memiliki sistem kerja atau aturan, ada sebuah model yang mengatur bagaimana pangkalan itu bekerja. Ada urutan antrian siapa yang harus menarik penumpang, lalu juga ada pembagian wilayah dimana tiap pangkalan memiliki pasarnya masing-masing, dan lain sebagainya.

Aturan tak tertulis sudah menjadi sebuah sistem yang dijalankan dalam industri ojek konvensional berbasis paguyuban ini, sehingga jika ada tukang ojek yang nakal, semisal mangkal atau narik penumpang di area yang bukan miliknya, akan ada sanksi sosial berupa tekanan dari pelaku ojek lainnya hingga mungkin sanksi fisik.

Sistem ini telah berjalan begitu lama sehingga sudah menjadi aturan baku bagaimana ojek beroperasi di Indonesia. Ketika ada driver Gojek yang dipanggil menggunakan aplikasi menuju suatu wilayah yang sudah ada “pemiliknya,” maka disinilah permasalah terjadi. Sebuah hukum rimba yang sudah lama berlaku dan tertanam dibenak seluruh tukan ojek tiba-tiba diganggu oleh hadirnya layanan seperti Gojek.

Pendekatan berbasis kekeluargaan dan paguyuban atau sebuah usaha berlandaskan komunitas merupakan nilai tradisi yang ada di Indonesia. Apakah lantas tradisi ini sebaiknya dipertahankan? Apakah keberadaan Gojek mengikis nilai budaya dan sistem sosial yang ada di Indonesia? Bahkan ada yang menganggap Gojek merupakan logika Korporat yang ‘profesional’ atas asas kapitalisme liberal yang menggurita.

Teknologi Digunakan Untuk Menyelesaikan Masalah

Screen Shot 2015-06-15 at 1.28.39 PM

Gojek lahir karena adanya permasalahan. Masalah transparansi harga, masalah keamanan dan kepastian dari pengemudi kendaraan, masalah ketersediaan helm, hingga berbagai masalah lainnya yang dialami konsumen mendorong lahirnya. Dari situlah Gojek muncul untuk memberikan solusi.

Tidak hanya untuk konsumen, masalah juga terjadi di kalangan tukang ojek sendiri. Waktu menunggu di pangkalan harusnya bisa lebih produktif. Jika hanya menunggu di pangkalan, tukang ojek hanya bisa bekerja ketika gilirannya tiba dan ketika ada orderan. Padahal, bisa saja ada lokasi dimana di pangkalan tersebut kosong sedangkan ada orderan. Atau bisa saja tukang ojek itu melakukan hal lain yang lebih produktif ketika tidak ada penumpang. Di sini jugalah Gojek hadir untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Dari sisi regulasi, selama ini jika ada ojek yang melanggar aturan, tidak ada badan yang bisa ditegur atau diatur. Pemerintah sendiri dengan adanya Gojek, jadi lebih mudah mengontorl dan menata moda transportasi agar bisa menimbulkan ketertiban lalu lintas.

Jadi sebenarnya Gojek hadir bukan dari ambisi untuk memberangus ojek konvensional ataupun mengambil lahan pekerjaan mereka. Gojek lahir untuk menjembatani kebutuhan dan permasalahan yang ada di lapangan yang dialami oleh konsumen, pemerintah, bahkan tukang ojeknya itu sendiri. Dengan model ini, semua pihak bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Apakah Gojek Akan Memonopoli Dan Merusak Pasar?

grabbike

Timbul opini bahwa Gojek akan memonopoli pasar. Jawabannya tidak benar. Justru sebelum Gojek, dulu sudah ada layanan sejenis (yang mungkin sekarang sudah tidak terdengar namanya). Tapi Gojek sendiri bukan tanpa saingan, ada GrabBike yang hadir untuk bersaing dengan Gojek. Tidak mustahil juga muncul layanan lainnya misalkan dari perusahaan besar seperti Bluebird atau startup baru yang membawa inovasi berbeda.

Ojek konvensional pun tidak harus bergabung dengan Gojek, atau GrabBike, atau layanan lainnya. Mereka juga bisa membuat sebuah badan sendiri yang memberikan pelayanan yang sama dengan Gojek. Tinggal contek saja. Yang jelas teknologinya sudah tersedia dan terbukti (oleh Gojek) mampu menjawab permasalahan yang ada dan dialami oleh konsumen, tukang ojek, hingga pemerintah.

Dengan adanya persaingan positif seperti ini, maka pelayanan terhadap masyarakat bisa lebih baik. Wajar jika ada gejolak karena apa yang ditawarkan Gojek mendistrupsi sistem yang sudah berjalan sejak lama. Tapi dengan sistem yang lebih baik, semua pihak akan merasakan manfaatnya. Masyarakat dan juga pemerintah kita harus siap dengan perubahan2 seperti ini kedepannya. Era teknologi sekarang ini akan terus melahirkan distrupsi2 baru terhadap berbagai sisi kehidupan kita. Selama itu berdampak positif, kita harus bisa dengan cepat beradaptasi atau kita akan tertinggal dan semakin terpuruk.

About Adam Ardisasmita (1373 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

2 Comments on Gejolak Layanan Gojek Yang Merombak Kultur Dengan Teknologi

  1. Masing-masing punya pasar sendiri, jadi ojek tradisional gak akan mati.

    Suka

1 Trackback / Pingback

  1. [Review] Berkendara Praktis, Nyaman, Aman, dan Murah Menggunakan Uber – Ardisaz

Tinggalkan komentar