My Journal

Budaya Tidak Bisa Mengantri yang Kronis

Bukan rahasia umum kalau orang Indonesia itu paling gak ngerti yang namanya antri. Saya ngalamin sendiri bagaimana ngantri masuk trans jakarta itu kayak main rugby, kita harus dorong sana sini, bahkan ada yang nyikut. Udah bukan pemandangan langka lagi ngeliat masyarakat kita tidak bisa mengantri. Menurut saya ini adalah konsekuensi logis dari pendidikan kita yang belum merata sehingga masih banyak orang yang tidak memahami apa itu antri. Mereka yang biasa tinggal di daerah yang tidak padat, misalkan di pedesaan, pegunungan, dan lain-lain, tidak perlu merasakan antri. Begitu masuk ke kota besar, langsung shock ngeliat sekian banyak orang dan belum memahami konsep mengantri.

Kalau masalahnya pendidikan, saya masih bisa memahami. Tapi ternyata yang pendidikannya tinggi pun masih ada yang belum paham konsep mengantri. Parahnya lagi, mereka tidak bisa mengantri bukan karena tidak tahu, tapi karena merasa “berkuasa” dan “orang penting” sehingga merasa hak dirinya jauh lebih tinggi daripada hak orang lain. Ada satu cerita yang teman saya sampaikan ke saya tentang efek dari mindset gila ini.

Jadi teman saya bercerita, ada satu kedutaan besar luar negeri di Indonesia, yang saat ini tidak lagi melayani proses pembuatan visa ke negara tersebut. Padahal itu adalah negara yang cukup ramai menjadi tujuan pariwisata, bisnis, atau pendidikan dari masyarakat di Indonesia. Yang namanya kedubes, pasti stafnya bule semua dong. Dan bule itu gak kenal yang namanya “gila hormat,” konsep mentang-mentang dia kaya, pejabat, atau punya kekuasaan, maka bisa didahulukan. Selama beberapa momen, secara akumulatif, sering banget mereka kesal karena ada orang-orang yang merasa punya kekuasaan yang meminta didahulukan, meminta untuk by pass prosedur, dan hal-hal yang lumrah terjadi di Indonesia saat ini tapi itu sebenernya konsep yang gila.

Puncaknya, suatu ketika ada seorang yang punya kekuasaan yang ingin di by pass agar visa miliknya disegerakan tanpa mengikuti aturan yang berlaku. Bahkan orang tersebut membawa semacam ajudan atau preman untuk “menakut-nakuti” petugas di sana dan mengancam kalau permintaannya tidak dituruti, orang itu bisa “diapa-apain.” Akhirnya kedubes tersebut merasa muak dengan prilaku semacam ini dan memutuskan untuk cabut dari Indonesia, tidak lagi melayani pembuatan visa ke negara tersebut. Saat ini yang ada hanyalah representatifnya, kalau mau bikin visa, dokumennya akan dikirim ke negara lain di luar Indonesia. Jadinya, yang merasakan kerugian ini adalah kita semua, terutama teman-teman saya yang ingin mengurus visa karena visanya akan lebih lama, menunggu dokumen miliknya dikirim ke luar negeri, diproses, lalu dikirim balik ke Indonesia.

Jadi untuk mengatasi masalah budaya antri di Indonesia ini, pertama-tama generasi muda kita haruslah cerdas. Pendidikan harus merata. Lalu setelah itu beres, orang-orang tua yang kelakuannya udah kronis gini harus segera diganti sama anak-anak muda yang lebih jujur dan lebih cerdas. Ini merupakan proses yang panjang dan makan waktu lama, tapi sekarang udah dimulai nih. Moga-moga 10-20 tahun lagi, Indonesia bisa lebih baik dari hari ini.

About Adam Ardisasmita (1373 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

3 Comments on Budaya Tidak Bisa Mengantri yang Kronis

  1. Udah jengah juga sebenernya ngadepin orang2 yg ga mau antri. Pernah suatu hari saya ngingetin orang yang gak mau ngantri, padahal ngingetin antrinya itu pake nada pelan, tapi malah lebih galak dia. Heuuu.. Emang harus jadi budaya banget antri ini.. 😦

    Suka

1 Trackback / Pingback

  1. Memperluas Cakrawala Dengan Pertukaran Budaya | Ardisaz

Tinggalkan komentar