My Journal

Etika di Dalam Dunia Digital

gambar diambil dari http://www.richguysclub.com/

Semester 7 ini, saya mendapatkan mata kuliah Etika dan Hukum Cyber. Kuliah tersebut mengajarkan saya untuk melihat nilai-nilai dan aturan-aturan yang berlaku di dunia maya. Sayang sekali pendidikan terhadap etika dan hukum ini tidak pernah diajarkan baik secara langsung maupun tidak langsung di kehidupan kita. Lalu beberapa waktu yang lalu terjadi sebuah kasus di himpunan yang cukup menghebohkan terkait dengan etika.

Kasus yang terjadi adalah terdapat sekelompok orang yang berniat baik untuk mendekatkan diri dengan massa di lingkungannya. Dengan pemikiran yang inovatif dan out of the box, mereka melahirkan sebuah metode untuk mengirimkan email ke alamat email pribadi orang-orang yang isinya adalah sebuah informasi pencerdasan dan link terkait pencerdasan tersebut. Namun sayang, ternyata lingkungan yang mendapatkan email tersebut merasa tidak nyaman dan mengirimkan kritikan terhadap aksi tersebut. Nah, saya akan mencoba menganalisis mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Yang pertama, alamat email itu sama dengan nomer handphone atau alamat rumah. Sifatnya personal dan bukan hal yang bisa disebarluaskan begitu saja. Jika kita bertukar kartu nama pun, nomer handphone yang kita berikan bisa jadi bukan nomer pribadi tapi nomer kantor, demikian juga dengan alamat email. Bahkan alamat rumah belum tentu kita cantumkan. Mereka yang menginginkan privacy, tidak merasa nyaman jika dihubungi ke alamat pribadinya. Untuk jika seseorang ingin mendapatkan informasi, ada fitur yang namanya subscribe atau berlangganan. Kita memasukan email kita, maka informasi yang kita inginkan akan dikirimkan ke alamat email tersebut. Di sini kita bisa memilih alamat email mana yang ingin ditujukan sehingga tidak mengganggu email pribadi kita serta terdapat fitur unsubscribe. Ketika kita merasa terganggu dengan informasi tersebut, kita bisa memilih untuk tidak berlangganan kembali.

Selain masalah etika mengirimkan email, dalam konten yang ada di dalamnya pun ada etika tersendiri. Niat dari email tersebut adalah usaha untuk “mendekatkan” diri dengan massa, namun konten yang ada di dalamnya merupakan konten yang digenerate secara otomatis. Hal ini tentu menimbulkan kontradiktif terhadap tujuan dengan cara yang digunakan. Kalau memang tujuannya ingin berkomunikasi dan berinteraksi secara langsung (apalagi ke alamat email pribadi), saya rasa orang akan lebih menghargai apabila menggunakan kalimat interaksi yang natural. Yah, walaupun memang ini sendiri pun masih bisa ditweak dengan sebuah algoritma, tapi setidaknya saya jadi memiliki keinginan untuk membalas email tersebut dan berinteraksi lebih lanjut. Begitu yang muncul adalah “template”, maka yang lahir adalah antipati terhadap konten dan menganggap hal tersebut hanyalah angin lalu saja. Kemudian masih terkait konten, sebaiknya sebuah email pencerdasan itu lebih berisi informasi daripada referensi. Email itu gratis dan tidak ada batas maksimal karakternya, jadi kenapa tidak sekalian aja memuat informasi yang dibutuhkan di dalamnya? Toh server yang digunakan sangat besar, jadi tidak masalah kalau memberikan attachment di dalam email tersebut. Dari segi UX, pengguna cenderung malas untuk membuka link (sehingga tujuan pencerdasan kan jadi tidak tercapa) lalu dari segi etika, saya pernah belajar mengenai spam filtering, penggunaan link di dalam email merupakan salah satu faktor yang diperhatikan untuk mengklasifikasikan apakah email tersebut adalah spam atau bukan. Bahkan seorang ekspertis di bidang IT pun pernah ditegur di sebuah milis karena mengirimkan sebuah link di email beliau.

Kalau tanggapan saya pribadi, saya mempermasalahkan mengenai secrecy dari alamat email pribadi. Saya memiliki empat alamat email yang saya gunakan dan masing-masing memiliki fungsinya sendiri. Ada yang untuk email urusan pribadi saja, ada yang untuk urusan di ITB, ada yang untuk urusan pekerjaan, dan ada yang untuk informasi lain yang kurang penting tapi saya ingin menerimanya. Ketika ada email seperti itu masuk ke alamat email pribadi saya, yang pertama saya pikirkan adalah “dapet dari mana?” “Kenapa gak ke email yang itu aja dikirimnya”. Yah, tapi saya juga tidak bisa menyalahkan atau melarang apabila ada teman saya yang memberikan alamat email saya. Lalu masalah berikutnya adalah terkait dengan konten yang digenerate. Andaikan konten yang dikirimkan bersifat natural dan saya tahu siapa yang mengirimkannya, saya mungkin akan membalasnya dengan pertanyaan2 diskusi terkait dengan konten yang beliau sampaikan karena saya juga senang berdiskusi. Tapi ketika di awal saya sudah menyadari bahwa ini adalah template, saya pun mengkatogerikannya sebagai spam buat saya. Kalau faktor-faktor lainnya nampaknya tidak begitu mengganggu saya, tapi mungkin ada beberapa teman-teman yang terganggu.

Lesson learned-nya adalah, ini merupakan pembelajaran buat semua bahwa ada etika dan hukum yang berlaku di dunia digital. Memang hal ini tidak diajarkan secara resmi, namun ternyata etika ini terbangun secara sendirinya terutama bagi mereka yang aktif di dunia maya. Jadi, unsur etika dan hukum ini tidak bisa kita kesampingkan dan harus kita perhatikan. Buat yang ingin mengirimkan informasi, ada baiknya ditelaah lagi dan diperhatikan lagi mengenai etika dan hukum yang ada di dalamnya, lalu buat yang merasa terganggu, mohon diingatkan dengan baik karena masalah etika dan hukum cyber ini tidak diajarkan secara langsung sehingga wajar jika ada orang yang tidak mengerti.

About Adam Ardisasmita (1373 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

4 Comments on Etika di Dalam Dunia Digital

  1. waah sist adam membahas hal ini di blog 😀 kalo gw pribadi ngga merasa terganggu dengan email yg dateng, tp ada email yg masuk ke email alay gw yg notabene gak pernah gw kasih ke orang2 buat jadi alamat email gw, jadi gw lebih ga suka dengan fakta mereka kirim itu ke email pribadi gw, dari mana dapetnya coba. yah seru juga insiden kemarin bikin ada dinamika. kalo kata cuz ama kak puja, emang ada harus yang antagonis supaya semua orang tergerak ahuhu 😛

    Suka

  2. hmmm.. menarik memang masalah etika email-emailan ini. Masalahnya patokan sebuah email itu mengganggu atau engga berbeda-beda tergantung ketertarikan isinya bagi masing2 orang

    Suka

  3. Menarik juga alesan gak senengnya beda2. Kalo alamat email sich semacam gw taro mana2 emank biar gampang dihubungin kalo ada yang butuh, toh ada yang namanya junk folder =p

    Personally, gw bermasalahnya karena “it smells like politic”. Gw sama sekali gak tertarik dan selalu menghindari hal-hal yang berbau politik. (termasuk kampanye, tapi toh dari visi-misi gw udah tau mau milih siapa =p)

    Gw lebih penasarannya, kalo misalnya di-packaging dengan lebih baik, apa hasilnya bakal positif ya? Misalnya dibikin dengan layout yang bagus dan ada warna2nya. Trus isinya juga lebih ringkas dan padat. Malah mungkin email yang pertama ini cman ngasih tau kalo ada calon nomer 1, nama X, muka gini, dan ada tombol dimana orang bisa “subscribe” kalau tertarik buat informasi lebih lanjut, jadi yang gak tertarik juga gak kesel, karena toh dia cman dapet sekali itu. Malah mungkin lebih bagus lagi kalo dikirimnya ada gelombang2nya, jadi gak langsung ke semua pihak, misalnya mungkin mulai dari angkatannya sendiri dulu (yang harusnya lebih toleran) dan baru pelan2 ke orang2 lainnya

    Suka

  4. @sasky : Betul betul, klo gini kan jadi “hangat” hehehe… tapi kasian yg antagonis, jadi berkurang suaranya demi menghangatkan :p

    @affan : iya sih, tapi sebenernya ada etika bakunya fan. Kayak pake signature, penulisan subject, dll. Cuma di Indonesia hal tersebut gak pernah diajarin. Klo tentang isi, emang beda-beda tiap orang 😀

    @raka : hahaha… bener bener, it smells politic. :p Bisa jadi tuh klo penyajiannya lebih oke dan gak pas deadline submit form seminar TA :p hahaha

    Suka

Tinggalkan komentar