My Journal

Jangan Jadi Universitas yang Hanya Bisa Menetaskan Robot

Generasi yang dibutuhkan oleh negeri ini sekarang adalah generasi yang memiliki kecakapan di zona hardskill dan juga softskill. Mereka yang mampu menggunakan otaknya untuk berpikir dan hatinya untuk merasa. Bukan robot-robot engineer, scientist, dan sebagainya yang kurang peka terhadap lingkungan atau sebaliknya, para aktivis sosial yang seringkali bertindak tanpa berpikir. Untuk mendapatkan para penerus bangsa yang memiliki sayap yang sempurna baik itu intelektual maupun emosional, sudah seharusnya semenjak dini keduanya harus diasah. Karakter harus dikembangkan dengan optimal agar bisa seimbang antara IQ dan EQ. Sayangnya dunia akademis yang konvensional kerap kali terjebak di pengembangan hardskillnya saja.
Sistem SKS seharusnya berbobot 1 jam pelajaran (40 menit) tatap muka, satu jam tugas terstruktur, dan satu jam belajar mandiri. Ketika seorang mahasiswa mengambil 18 SKS, berarti dalam satu minggu mahasiswa harus mengalokasikan 18 jam untuk tatap muka, 18 jam untuk mengerjakan tugas, dan 18 jam untuk belajar mandiri dalam seminggu. Sisa waktunya bisa digunakan untuk meningkatkan softskill seperti dengan berkegiatan di UKM, mengikuti organisasi, dan lain sebagainya. Apabila yang terjadi ideal seperti ini, nampaknya generasi emas yang kita impi-impikan akan tercipta.
Pada kenyataannya, bobot tugas kuliah yang harusnya 1 jam dari jatah 3 SKS menjadi membengkak. Saya pernah mencoba mengalokasikan waktu sesuai dengan slot SKS. Namun pada kenyataannya, saya terpaksa harus kehilangan waktu 1 SKS belajar mandiri saya untuk mengerjakan tugas yang sangat menyita waktu. Implikasinya adalah untuk menghadapi ujianpun harus menggunakan sistem kebut di akhir. Lalu, ternyata bobot tugas kuliah lebih dari itu, sekarang tugas kuliah sudah mulai memakan jatah berorganisasi, bersosial, hingga jatah tidur dari mahasiswa. Efeknya adalah tugas-tugas tersebut memang berhasil melahirkan generasi yang cakap di bidang keilmuannya namun ia tidak bisa bekerja sama dengan baik, atau tidak bisa berkomunikasi dengan baik, atau tidak mampu merasakan kondisi di sekitarnya. Akhirnya kini universitas-universitas ternama hanya menetaskan robot-robot pekerja yang tidak mampu membawa perubahan yang berarti bagi bangsanya.
About Adam Ardisasmita (1373 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

8 Comments on Jangan Jadi Universitas yang Hanya Bisa Menetaskan Robot

  1. jadi intinya adalah pemberian beban tugas yang melebihi jatah sehingga mengganggu aktivitas sekain kuliah?

    Suka

  2. Coba komentar // 11/04/2011 pukul 11:42 pm // Balas

    Tulisannya bagus….

    Tapi saya kurang stuju dengan Mencetak robot ini…..Justru kebanyakan Mencetak Orang orang Luar biasa…….Tetapi apa Tujuan akhir mereka untuk bangsa????? Bahkan dari awal mereka berpikir…klo “kerja di luar pasti lebih sukses dibanding membangun bangsa”……..

    Suka

  3. @c_enyong
    Kalau yang saya amati di lingkungan saya, saat ini kegiatan kuliah lebih mementingkan nilai formal daripada nilai-nilai informal. Lebih menekankan kepada faktor akademis hingga terkadang lupa dengan kebutuhan akan faktor non akademis. Jadi porsi untuk mengembangkan kemampuan softskill, kepekaan sosial, dan lain sebagainya kurang diperhatikan.

    @coba komentar
    Iya betul, pada kenyataannya banyak yang memutuskan untuk kerja di luar. Jadi ingat acara Kick Andy yang membahas tentang orang Indonesia yang sukses di luar negeri

    Suka

  4. Karena mengukur hardskill parameternya jelas kak, sementara orang teknik macem kita-kita ini kalo mau ngukur softskill parameternya cuma bisa pake asumsi. :))

    Suka

  5. @dianipr
    curcol yah? hehe…
    semangat mengembangkan softskill dan hardskill adik2nya yah

    Suka

  6. Saya kan cuma mengutip kata-kata kak Adam waktu FTFT ๐Ÿ˜› hehehe.

    Suka

  7. okky pratama // 13/04/2011 pukul 12:18 am // Balas

    menarik, setuju sekali kalo ngeliat realita,yang gw tahu khususnya di ITB.
    Bicara soal parameter,sekalipun gw sendiri kuliah di jurusan teknik, gw masih ga setuju ketika semua hal harus diparameterisasi, ada hal2 yang emang secara magis terjadi begitu saja yang itu harusnya diRASAkan bukan diHITUNG.contoh parameterisasi yang buruk : pengabdian masyarakat dianggap berhasil menanamkan sense mengabdi ketika tingkat kehadiran tinggi.

    Suka

  8. @okky pratama
    Iya betul, memang aspek kualitatif terkadang sangat sulit untuk dikuantifikasikan. Namun ternyata bukan perkara mudah untuk menentukan parameter aspek kualitatif karena tanpa adanya data-data yang tangible (angka, statistik, dsb), menilai aspek kualitatif akan sangat dekat dengan subjektifitas seseorang. Salah satu metode untuk menilai aspek kualitatif adalah melalui wawancara.

    Tantangannya adalah bagaimana kita memastika laporan penilaian yang diberikan oleh pewawancara terjamin kredibilitasnya. Tantangan berikutnya adalah kuantitas objek yang dinilai. Bagaimana caranya menilai (mungkin dengan cara merasakan) sense aspek kualitatif dari peserta dalam jumlah yang banyak. Yang pasti effort yang diperlukan untuk mencatat perkembangan aspek kualitatif cukup tinggi dan berat.

    Semoga Okky bisa menemukan metode terbaik untuk menetapkan parameter dan melakukan penilaian terhadap aspek kualitatif.
    Tetap semangat ๐Ÿ™‚

    Suka

Tinggalkan komentar