My Journal

Opini Tentang Telkom dan Kultur di Era Digital

Sudah hampir dua minggu ini Telkom (dan anak usahanya Telkomsel dan IndiHome) mendapatkan sentimen negatif atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan atau aktivitas yang dilakukannya. Terhitung dalam beberapa minggu ini, ada topik heboh yang dibincangkan netizen seperti terkait blokir Netflix, SSH yang disebut ilegal, adanya FUP (pembatasan kuote) secara tiba-tiba, menghilangkan channel favorit secara tiba-tiba, menaikan harga layanan, hingga pemutusan telepon jika berhenti berlangganan.

Saya sengaja menunggu situasi agak reda dulu baru memberikan opini. Karena terkadang disaat peak topik tersebut sedang populer, banyak informasi simpang siur dan tidak fair klo kita memberikan opini tanpa informasi yang holistik (atau dalam kondisi terburu-buru demi mengejar tren/trafic). Jadi berikut tulisan opini, yes ini opini, jadi subjektif saja, terkait sentimen terhadap Telkom dan layanannya.

Salah satu penyebab gelombang sentimen negatif

Salah satu penyebab gelombang sentimen negatif

Pertama saya ingin coba beropini terkait Telkom sebagai sebuah perusahaan. Image yang melekat di perusahaan berplat merah adalah kaku dan lambat. Dua kata tersebut adalah kata yang haram tertempel di perusahaan yang ingin bersaing di industri IT. Pergerakan inovasi, pertumbuhan teknologi, dan pergeseran tren berlangsung sangat cepat. Jika kita tidak bisa bersaing, maka akan langsung mati. Ada quote yang mengatakan seperti ini.

Kalau dulu ikan besar memakan ikan-ikan kecil, sekarang ikan cepat memakan ikan-ikan lambat

Dan hal ini yang sekarang sedang dihadapi oleh Telkom sebagai perusahaan yang masuk di medan perang teknologi informasi. Sayangnya kultur plat merah sepertinya masih tersisa di tubuh perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia ini. Mengubah kultur sebuah perusahaan besar amat sangat susah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Jika hal ini tidak segera dibenahi, tinggal tunggu waktu sampai “ikan-ikan cepat” akan memangkas habis “potongan kue” di Indonesia.

Contohnya adalah aksi blokir Netflix. Alasan pemblokiran Netflix menurut mereka adalah:

Kami blokir Netflix karena tidak memiliki izin atau tidak sesuai aturan di Indonesia dan banyak memuat konten yang tidak diperbolehkan di negeri ini, sumber

Netflix tidak memiliki “izin.” Perlu diketahui, di era borderless seperti sekarang, konsep “izin” untuk perusahaan online tidak bisa disamakan dengan izin untuk membuat badan usaha pada umumnya. Jadi apakah semua website di internet harus punya izin jika ingin diakses di Indonesia? Kalau iya, berarti selain yang sudah punya “izin” di Indonesia harus diperlakukan sama, mungkin 99.99% konten di internet tidak ada “izin” di Indonesia. Apa Dropbox sudah punya “izin” di Indonesia? WordPress gimana? Trello? Todoist? Basecamp? Amazon? LinkedIn? 8Tracks? SoundCloud? Pinterest? Wikipedia? Tumblr? Ask.fm? Github? Quora? Slideshare? dan listnya masih banyak.

Lalu terkait konten yang tidak diperbolehkan di negeri ini, bukankah kita sudah ada lembaganya yang bertugas memfilter yah? Kalau tidak salah inilah peran Internet Positif untuk menentukan konten mana yang tidak sesuai untuk Indonesia. Dan lagi-lagi, daftarnya akan sangat panjang dimana di sini blokir bukanlah solusi.

baca juga tulisan saya terkait blokir : Panel Untuk Memblokir Situs Internet

Momen ini dimanfaatkan oleh para pesaingnya untuk melakukan kampanye. Hari itu juga, XL langsung membuat iklan, MyRepublic juga langsung membuat iklan, dan beberapa provider lain pun juga sama. Ini salah satu gerakan dimana ikan-ikan cepat akan memakan ikan lambat.

415d6bcd-4d62-4d37-a4e0-ab2fe5f1729f

Kemudian yang berikutnya terkait FUP. Bagi yang belum tahu, FUP atau Fair Usage Policy adalah pembatasan kuota internet. Konsep layanan internet biasanya ada dua jenis, pembatasan kecepatan dan pembatasan kuota. Di sini digunakan konsep kombinasi, contohnya dibatasi kecepatan 10 MBpS, lalu kalau sudah lebih dari 300GB penggunaan dalam sebulan, kecepatannya akan turun. Konsep FUP ini adalah konsep yang lumrah. Di negara-negara lain malah FUP-nya lebih ketat, ada yang cuma 120GB perbulan bahkan ada yang batasannya perhari. Tujuan dari FUP ini untuk mencegah ada yang menggunakan bandiwidht dengan abusive sehingga mengganggu layanan pengguna yang lainnya.

Konten yang turut meningkatkan sentimen negatif masyarakat

Konten yang turut meningkatkan sentimen negatif masyarakat

Lalu kenapa ini jadi sentimen negatif? Karena kebijakan ini muncul di tengah-tengah layanan. Di saat perusahaan lain di Indonesia masih belum menerapkan FUP, IndiHome memutuskan untuk menerapkannya. Selain itu, penerapannya masih dalam momen sentimen negatif akibat Netlfix dan juga SSH yang dibilang ilegal. Tak hanya itu, berbarengan juga dengan penghapusan channel favorit dari IndiHome (HBO dan Cinemax). Mindset yang saya dapat dari keputusan ini adalah IndiHome bisa mengubah kualitas layanan sesuka hatinya tanpa memikirkan kepuasan pelanggan. Jadi ekspektasi pengguna yang memasang layanan dan membayar langganan bulanan akan runtuh dengan penurunan kualitas secara sepihak ini. Solusinya tinggal ganti ke layanan yang lain saja kan?

Sayangnya ada beberapa hambatan untuk melakukan hal ini. Yang pertama telepon rumah akan ikut dicabut kalau kita menutup IndiHome dan yang kedua banyak daerah yang tidak memiliki jaringan lain selain IndiHome. Kalau telepon rumah yaudah lah yah, saya juga sudah hampir 3 tahun menikah gak punya telepon rumah :p Tapi kalau yang masalah infrastruktur, ini yang cukup krusial. Entah provider lain belum masuk atau provider lain tidak boleh masuk. Hal ini membuat pengguna terpaksa memakai layanan IndiHome.

baca juga : Internet Fiber Optic Super Cepat dan TV Kabel Innovate

Hari ini, gejolak yang dialami oleh Telkom bisa dibilang hanya gerimis dan angin kecil. Telkomsel gak perlu melakukan apa-apa juga orang pakai Telkomsel. Semua orang butuh telepon rumah. Kalau mau pakai telepon rumah, pakai IndiHome. Jadi dengan posisi yang sedang di atas, “si ikan besar” ini tidak akan terlalu terpengaruh. Tapi ingat, sekarang peta persaingan mulai bergeser. Ikan-ikan cepat akan memakan ikan lambat, tidak peduli sebesar apa ikan tersebut. Kalau tidak segera melakukan perubahan, membuat inovasi, dan memperbaiki layanan ke pengguna, bukan mustahil Telkom akan ambruk. Perusahaan sepowerfull Nokia (dulu) saja bisa runtuh kok kalau telat berinovasi.

Synthesis-Blog-New-World

Tapi memang berteori dan retorika itu lebih mudah daripada kenyataan. Nulis di blog jauh lebih ringan daripada eksekusinya. Untuk mengubah kultur agar Telkom bisa lebih bersaing, banyak faktornya. Apalagi plat merah. Misal sudah coba untuk hire lebih banyak anak muda yang kreatif, bisa membangun produk, dan bisa bergerak cepat pun, belum tentu pergerakannya bisa luwes. Bisa saja ada pasal yang tidak bisa ditabrak, ada aturan birokrasi yang tidak bisa dirombak, dan berbagai belenggu yang menghambat larinya perusahaan. Bahkan mungkin buat narik kabel dari lantai 5 ke lantai 2 aja perlu tanda tangan banyak direktur. Kalau sudah begini, bukan lagi soal visi perusahaan, direktur utama yang hebat, atau sumber daya yang bisa bersaing, tapi juga sudah masuk ke ranah politik. Jadi mari kita lihat saja, bisa kah ikan besar ini berenang lebih cepat?

About Adam Ardisasmita (1373 Articles)
CEO Arsanesia | Google Launchpad Mentor | Intel Innovator | Vice President Asosiasi Game Indonesia | Blogger ardisaz.com | Gagdet, Tech, and Community enthusiast.

Tinggalkan komentar